Aku lahir dan besar dengan pemahaman kalau memberi orang tua adalah hal lumrah. Saat masih single, aku merasa ringan being a sandwich generation.
Toh pekerjaanku tergolong baik, punya penghasilan, dan cinta kutuangkan sebagian untuk orang tuaku. Hal itu adalah bentuk bakti, jadi aku pun merasa bahagia melakukannya. Semua orang begitu, kan?
Namun, hidup berubah ketika aku menikah dan punya anak. Tiba-tiba peran yang kujalani bertambah banyak:
menjadi istri,
menjadi ibu, sekaligus
tetap menjadi anak yang “bertanggung jawab” untuk orang tua.
tetap menjadi anak yang “bertanggung jawab” untuk orang tua.
Di titik itulah aku benar-benar merasakan arti generasi sandwich: terimpit di tengah kebutuhan dua arah.
Awalnya aku kira menjadi bahagia dan menyenangkan keluarga artinya semua orang tercukupi. Namun, ternyata gak sesederhana itu! Dan ternyata gak semua orang punya “tuntutan” itu.
Beban finansial sandwich generation yang kurasakan bukan cuma soal angka di rekening, tapi juga menyangkut kesehatan mental. Aku sering ngos-ngosan dan terjungkal. Ada momen ketika aku sadar: aku bekerja keras bukan lagi karena disiplin, melainkan karena takut.
Takut telat.
Takut gagal jadi seseorang.
Takut gak punya uang dan mengecewakan orang tua—karena aku merasa misiku adalah menaikkan derajat keluarga.
Salah satu momen terberat adalah ketika orang tua sakit. Aku merasa sangat bingung: tabungan mana yang harus dipakai? Aku gak mungkin pakai simpanan dana pendidikan anak, tapi mustahil juga pakai dana kebutuhan rumah tangga. Namun, apa iya aku mengabaikan orang tua? Situasi seperti inilah yang sering jadi benturan batin.
Pernah juga ada fase ketika aku takut menerima telepon dari orang tua. Bukan karena gak sayang, tapi karena takut mereka butuh sesuatu sementara aku belum siap.
Alih-alih dekat, aku justru menjauh secara emosional dengan mereka. Semuanya terasa menumpuk. Semakin aku coba membahagiakan semua orang, semakin aku kehilangan diriku sendiri: waktu, energi, bahkan suara hati.
Saat itu aku sadar, aku perlu sistem yang lebih sehat, juga alokasi khusus yang rasanya ringan; bukan sekadar reaktif saat ada kebutuhan mendesak.
Dari pengalaman itu, aku belajar bahwa aku—dan banyak dari kita—tanpa sadar membawa trauma finansial.
Kita tumbuh dengan niat yang murni: ingin membalas budi, atau ingin jadi anak berguna. Namun, niat itu perlahan bisa berubah jadi beban, apalagi ketika menaruh standar terlalu tinggi pada diri sendiri.
Di sinilah aku mulai belajar melek finansial. Aku pun berkenalan dengan dana darurat, membuat spreadsheet soal budgeting, sampai mulai berdiskusi terbuka dengan suami maupun orang tua.
Komunikasi itu penting. Aku perlu tau kebutuhan nyata orang tua tuh berapa, keluarga kecilku berapa, dan mana yang bisa disesuaikan.
Bersama pasangan, aku membagi alokasi untuk kebutuhan rumah tangga, anak, diri sendiri, dan orang tua. Serta aku ajak diskusi adik untuk pembagian kontribusi.
Apakah mudah? Sayangnya, gak tuh. Bagiku, ini proses trial and error. Gak ada aturan yang pasti.
Meski demikian, aku belajar bahwa budgeting bukan soal menekan pengeluaran, tapi juga mengurangi trauma finansial dengan mengenal mindful spending, membelanjakan uang sesuai dengan kesadaran; bukan rasa takut atau rasa bersalah.
Di sinilah aku terbantu dengan fitur Jenius, terutama Flexi Saver. Dengan fitur ini aku bisa membuat “kantong-kantong” khusus: untuk anak, orang tua, hingga self-reward.
Rasanya lebih terstruktur, gak bercampur, dan membuatku lebih tenang.
Banyak yang bertanya, apakah mungkin keluar dari jerat sandwich generation? Menurutku, jawabannya adalah… “ya”.
Namun, harus dimulai dari memutus rantai mentalitasnya terlebih dahulu.
Aku gak mau anak-anakku tumbuh dengan narasi “lelah mencukupi” yang sama. Aku ingin mereka tau bahwa hidup itu bukan hanya tentang harus menjadi berbakti saja, melainkan juga dengan menikmati hidup itu sendiri. Istirahat itu keren, tenang itu sukses, dan bahagia untuk diri sendiri gak harus ditunda atau nanti-nanti.
Cara keluar dari sandwich generation bukan hanya dengan memperbaiki kondisi finansial, tapi juga dengan mengubah cara pandang. Kita bisa mulai dari langkah kecil: belajar mengatakan cukup, membuat sistem budgeting yang jelas, berhenti mengorbankan diri secara berlebihan, serta memberi ruang untuk menerima.
Dari pengalamanku, ada beberapa hal sederhana yang bisa mulai dilakukan oleh siapa pun yang sedang berada di posisi ini.
Bedakan mana kebutuhan mendesak, mana keinginan, mana yang hanya sekadar ingin menyenangkan orang lain (atau takut durhaka). 🥹
Hal ini memberi rasa aman di tengah beban finansial generasi sandwich yang sering gak terduga.
Aku sangat terbantu dengan Jenius yang memiliki berbagai fitur andalan, seperti Flexi Saver, Dream Saver, sampai Maxi Saver yang membantu memisahkan investasi atau tabungan biar gak tercampur.
Tanyakan kepada diri sendiri, “Apakah pengeluaran ini datang dari cinta atau dari takut?”
Jangan menunggu semuanya selesai untuk bahagia. Sisihkan juga untuk kebutuhan dan kesehatanmu!
Hari ini, aku menyebut diriku Proud Sandwich Generation. Bukan karena semuanya sudah sempurna, tapi karena aku belajar bertahan dengan sadar, menerima dengan lapang, dan bangga bisa menjalani semua peran ini.
Kalau kamu sekarang merasa sendirian menjalani beban ini, percayalah: you are not alone. Mulailah dengan langkah kecil. Karena menjadi proud sandwich generation bukan soal terbebas dari beban, tapi soal bagaimana kita memilih untuk hidup lebih sadar, lebih tenang, dan tetap bahagia di tengah semua peran.
Artikel ini ditulis oleh Rahne Putri, Teman Jenius yang merupakan Clarity Coach + Holistic & Energy Facilitator. Cek artikel dari para guest writer lain pada laman Blog Jenius.