Pondasi Keuangan dari Ruang-Ruang Masa Kecil

writter Lala Bohang

Keuangan itu ibarat bangunan rumah.”

Pada mulanya saya ingin memakai contoh kasus dari drama-drama Korea, seperti Record of Youth atau Itaewon Class, yang akhir-akhir ini marak digunakan sebagai jembatan yang efektif untuk masuk ke berbagai topik. Dari tema seputar romansa, perawatan kulit, makanan, fashion, sampai persoalan uang.

Memang ada beberapa keputusan keuangan yang menarik dari serial tersebut, tapi setelah membuat catatan dan mengulik ingatan, saya disadarkan kalau pondasi keuangan saya sudah dibentuk sejak usia dini di rumah. Jauh sebelum istilah perencanaan keuangan, kesadaran finansial, atau investasi berseliweran.

Meninggalkan lembah Palu dan pindah ke Bandung ketika memasuki bangku sekolah menengah atas adalah titik balik beberapa hal di hidup saya. Bukannya membesar-besarkan, berangkat dari masa kecil di mana kegiatan saya adalah pengulangan aktivitas makan, mandi, pergi les, dan sekolah, lalu tiba-tiba hidup sendiri dan bebas memilih mau makan apa tiga kali sehari adalah sebuah momentum.

Tidak sedikit orang yang takjub dengan orang tua saya, yang melepas anaknya untuk hidup jauh dari rumah di usia remaja. Namun saya berterima kasih dengan keputusan mereka. Tanpa pengalaman menghadapi hidup sendirian, mungkin saya tidak akan menemukan versi diri saya yang seperti sekarang ini.

Selain diminta untuk rutin melakukan interlokal (sambungan telepon antarkota pada tahun 1990-an yang dilakukan di wartel) ke rumah, saya juga harus mengirim laporan keuangan setiap bulan. Saat itu, semuanya masih dikirim via pos. Saya masih ingat buku kas yang dibelikan mama menjelang waktu pindahan. Warnanya hitam dengan lembaran yang dipenuhi garis-garis berlabel kredit, debet, dan saldo.

Saat itu, buku kas bukanlah benda asing buat saya. Mama duduk mencatat pengeluaran di buku kas sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Semua pengeluaran rumah tangga, dari uang parkir, gas, ikan, sampai uang jajan harian anak-anaknya tercatat detail. Saat itu saya melihat pencatatan keuangan sebagai hal yang membuang-buang waktu dan menjengkelkan. Buat apa repot-repot mencatat pengeluaran, toh uangnya sudah dipakai dan tidak akan kembali?

Sama seperti rumah, setiap orang memiliki perspektif, kebutuhan, dan standar masing-masing terhadap keuangan. Saya percaya, kebiasaan dan keseharian yang dibangun di rumah masa kecil adalah pondasi. Tidak ada yang lahir dari ruang hampa. Hari ini saya mencatat pengeluaran sehari-hari karena sudah dibiasakan sejak kecil, tanpa mengerti tujuannya saat itu.

Kini, catatan keuangan telah bergeser menjadi pondasi untuk mengambil keputusan-keputusan finansial. Sejak bekerja sendiri sebagai penulis dan perupa, saya tidak lagi memiliki pemasukan dengan nominal tetap setiap bulannya. Kesadaran terhadap pencatatan dan perencanaan keuangan memegang peran penting dalam melakoni pekerjaan saya.

Pondasi Keuangan

Kebebasan merencanakan profesi—yang saya sebut “karier terjun bebas” karena bergulir tanpa pakem dan jenjang karier—membutuhkan kemampuan untuk mengelola empat hal: keahlian, waktu, energi, dan uang. Semuanya terbatas, sehingga mesti dikelola dan dirawat dengan penuh kesadaran. Uang menentukan sebesar apa ruang pilihan yang dimiliki seseorang, tentu saja hal itu mengacu pada referensi masing-masing.

Baca juga: Mengatur Uang: Refleksi Diri dan Perjalanan Pribadi

Saya pribadi selalu berupaya memakai prinsip perumpamaan “tiny home, tiny life”. Walaupun punya kemampuan untuk hidup di rumah berukuran 200 m2, tidak masalah kalau memang merasa nyaman lebih baik hidup di rumah berukuran 45 m2. Minimal life means minimal effort, minimal effort means more time to focus on my craft.

Salah satu upaya pengelolaan yang saya lakukan adalah membuat pos-pos pengeluaran. Pos operasional, tabungan, investasi, hiburan, pengembangan diri, dan sebagainya. Memiliki sifat impulsif, saya sempat punya beberapa rekening terpisah untuk beberapa pengeluaran, demi meminimalisasi penggunaan uang yang tidak pada tempatnya.

Sampai di tahun 2019 saya bertemu dengan Jenius. Perencanaan dan pengaturan keuangan semakin dimudahkan dengan beberapa fitur, salah satunya Moneytory. Dengan rekaman pemasukan dan pengeluaran otomatis, saya tidak perlu lagi melakukan pencatatan keuangan secara manual.

Baca juga: Wujudkan Keuangan yang Lebih Sehat dengan Moneytory

Ada juga x-Card yang memungkinkan saya memiliki beberapa kartu debit untuk beberapa pengeluaran tanpa perlu memisahkan rekening. Sejak tahun 2020 saya juga mulai mengalihkan sebagian simpanan saya ke Maxi Saver, satu dari tiga jenis Save It (Flexi Saver, Dream Saver, Maxi Saver) yang dapat dipilih sesuai kebutuhan.

Dream Saver biasanya saya gunakan untuk pos pengeluaran pengembangan diri dan hiburan, bekerja sendiri tanpa ada yang melakukan supervisi, penting memiliki budget seperti ini untuk terus upgrade dan eksplorasi. Sedangkan untuk Dream Saver hiburan, saya biasanya menyisihkan uang untuk melakukan perjalanan tanpa perencanaan.

Baca juga: Cara Mudah Menabung dengan 3 Fitur Save It

Mungkin bagi beberapa orang itu seperti buang waktu dan uang, tapi bagi saya perjalanan yang tujuannya murni untuk menikmati waktu dan hal-hal random yang muncul di dalamnya adalah perjalanan terbaik! Yang paling menyenangkan adalah semua aktivitas keuangan ini dapat dilakukan dan dipantau melalui aplikasi Jenius. Minimum effort!

Di tengah informasi keuangan yang membanjiri sosial media, yang paling penting adalah membangun pondasi dan perspektif personal atas uang. Karena dari situlah kita bisa tahu produk keuangan yang cocok dengan karakter dan profil risiko kita. Bagi saya, keseharian yang efisien sangat krusial, saya butuh produk keuangan yang membuat hari-hari bergulir dengan praktis.

Jenius menjadi material yang membangun rumah minimalis di atas pondasi perspektif saya atas uang. Setiap ruang memiliki fungsi sendiri dengan pintu yang menghubungkan satu sama lain.

Sebagai seseorang yang menyusun hari untuk membuat ruang nyaman untuk mengerjakan hal-hal, rumah yang saya tempati saat ini sudah lebih dari cukup.


Artikel dan seluruh ilustrasi merupakan hasil karya Lala Bohang, teman Jenius yang berprofesi sebagai perupa dan penulis buku. Cek artikel dari guest writer-guest writer lain pada laman Jenius Blog Cerita Jenius.


Artikel lainnya