Perjalanan bukanlah tentang seberapa jauh kilometer yang kita tempuh, melainkan seberapa dekat kita bersedia melihat. Untuk melihat Jalur Sutra dan Asia Tengah lebih dekat, saya meminjam mata Marco Polo.
“Asia Tengah bukanlah tanah barbar, melainkan tanah peradaban tempat sungai mengalirkan madu dan gunung memuntahkan permata,” tulis Marco Polo dalam catatan perjalanannya yang termasyhur itu: Il Milione—diterjemahkan menjadi The Travels of Marco Polo.
Sebuah catatan yang membuat Marco Polo dijuluki “Si Jutaan—Il Milione” oleh orang-orang Eropa sebagai bentuk olok-olok atas catatannya soal kejayaan Asia yang dianggap bualan.
Namun, catatan itu juga yang menyemaikan bibit penasaran dan membuat saya memimpikan suatu hari akan menjelajahi Asia Tengah: Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Kazakhstan.
Saya dan Alexander Thian, sahabat sekaligus kawan seperjalanan di Asia Tengah, mendarat di Almaty, Kazakhstan, menjelang petang waktu setempat. Tiket pesawat kami beli secara daring menggunakan Kartu Kredit Jenius. Sayangnya, tidak ada penerbangan langsung dari Indonesia menuju ke salah satu negara Stan.
Baca juga: Kelas Itu Bernama Perjalanan
Akhirnya, pilihan kami jatuh pada rute penerbangan melalui Kuala Lumpur lantaran durasi transitnya paling pendek. Masa transit yang pendek memungkinkan kami punya waktu istirahat satu malam di Almaty sebelum memulai perjalanan darat lintas perbatasan empat negara selama 35 hari ke depan.
Potongan-potongan catatan perjalanan Marco Polo di Asia Tengah yang melekat di benak ibarat kepingan permainan bongkar pasang yang coba saya satukan. Selama perjalanan, benak saya asyik sendiri membayangkan seperti apa empat negara Asia Tengah ini 700 tahun lalu. Ketika semuanya dianggap mitos, rumor, dan bualan oleh warga dari Barat (baca: Eropa).
Di Kyrgyzstan, ketika Alex sibuk berkicau soal bagaimana dia sangat penasaran dengan Danau Issyk-Kul yang merupakan danau terbesar kedua di Asia Tengah, perhatian saya tertambat pada kuda-kuda Kyrgyzstan.
Kuda Bersayap, begitu Marco Polo menjuluki kuda-kuda Kyrgyzstan yang bisa berlari 100 kilometer per jam pada suhu -30°C ini. Daya tahan ekstrem yang tak tertandingi inilah, yang konon memungkinkan pasukan Jenghis Khan menaklukkan Asia. Namun, Kyrgyzstan bukan hanya soal danau dan kuda. Kyrgyzstan punya sejarah, budaya, dan bentang alam yang menakjubkan.
Leyla, pemandu kami, perempuan Turki yang dulunya berprofesi sebagai dokter, membawa kami mengenal Kyrgyzstan dari beragam sisi, termasuk penduduknya yang sangat ramah. “Orang-orang Kyrgyz murah hati, mereka suka menolong siapa saja,” katanya. Bahkan, jika tersasar pun, mereka akan membantu kita menemukan jalan pulang.
“Kau pernah dengar apa soal Issyk-Kul?” tanya Leyla.
“Nggak banyak,” jawab saya. Saya hanya tahu dari catatan Marco Polo bahwa danau ini dijuluki Danau Panas karena tak akan membeku sekalipun musim dingin.
“Pernah dengar bahwa di dasar danau ada istana kuno?”
“Itu benar nggak, sih?” Saya bertanya balik. Penasaran.
Mata Leyla berbinar. “Para arkeolog memang menemukan sisa pemukiman dari abad X di bawah dasar danau sana.”
Marco Polo tidak membual: Issyk-Kul ada, tidak pernah membeku, dan satu per satu bukti arkeologis peradaban kuno di bawah danau ditemukan.
Sewaktu di Tajikistan, saya jadi paham alasan Marco Polo menggambarkan negeri ini sebagai “atap dunia”. Gunung-gunung terjal menjulang menembus awan. Danau-danau cantik yang permukaannya serupa kaca memantulkan bayangan pegunungan yang mengelilinginya dan awan berarak yang memayunginya; memunculkan pemandangan yang seolah tanpa batas.
Namun, di antara semua pemandangan yang memukau itu, catatan Marco Polo yang paling menggelitik saya adalah soal aprikot.
Tajikistan adalah rumah dari beberapa jenis aprikot langka, ini saya ketahui dari Ferona, guru bahasa Inggris yang menjadi pemandu di Tajikistan. Pada musim semi, lembah-lembah di Tajikistan diselimuti warna putih bunga aprikot. Inilah yang rupanya disebut sebagai salju musim semi Tajikistan.
Ketika melewati Isfara di Lembah Vorukh, seorang petani aprikot berbaik hati mengizinkan kami bermain di ladangnya. Dia juga menyurukkan beberapa butir uruk aprikot—bola-bola aprikot kering—untuk kami cicipi. “Ini yang terbaik,” katanya.
Kedatangan tamu bagi orang Tajikistan adalah berkat. Mereka akan menjamu dengan semua hal terbaik yang dimiliki. Jika hari itu tak singgah ke kebun aprikot dan mencicipi aprikot keringnya, saya telah melewatkan salah satu buah yang membuat Marco Polo terpukau karena rasanya semanis madu.
“Mereka mengeringkannya di bawah sinar matahari lalu menyimpannya untuk persiapan musim dingin nanti dengan mengubur di dalam gua,” tulis Marco Polo.
Pencatatannya ini menyelamatkan pengetahuan ekologi kuno terkait sistem pengawetan aprikot Tajikistan. Konon, aprikot di Tajikistan adalah jenis aprikot purba. Marco Polo membawa biji-bijinya ke Venesia. Inilah yang menjadi cikal bakal aprikot di Eropa.
Di Tajikistan, selain aprikot, Marco Polo juga mencatat kekagumannya pada kekuatan sebuah benteng di kota Khujand. Di sebelah benteng inilah, sebuah pasar ramai yang ditandai dengan sistem penanggalan khusus menjadi salah satu titik penting Jalur Sutra: Panjshanbe Bazaar (Pasar Kamis).
Pasar-pasar di Tajikistan dinamai menggunakan nama hari sehingga memudahkan sinkronisasi mobilitas kafilah, ritus agraris, dan interaksi sosial. Oleh UNESCO, penamaan sistem pasar ini dianggap sebagai rekayasa budaya yang brilian pada masa Jalur Sutra dan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda (WBTB).
Jika sistem pengawetan aprikot dan pengaturan hari pasar menarik perhatian Marco Polo di Tajikistan, di Uzbekistan, dia membuat catatan khusus tentang kota yang dia anggap paling mulia, Samarkand—ditulis: Samarcan.
Sejak membaca catatan itu hingga hari saya melakukan perjalanan dari Tajikistan menuju Uzbekistan, pertanyaan tentang kemuliaan kota ini terus menggelayut. Sketsa Samarkand oleh Marco Polo samar-samar membayang.
Pemandu saya di Uzbekistan, Zohir, mengklaim satu kota yang dianggap mampu mewakili kejayaan Uzbekistan memanglah Samarkand. “Kota ini tidak hanya bicara tentang kejayaan pada masa lalu, tetapi juga bagaimana kami seharusnya pada masa depan.”
“Kalau seluruh Uzbekistan begitu menarik, aku jadi penasaran, kota mana yang menjadi favoritmu sebagai pemandu?” tanya saya.
“Jika ingin melihat seberapa besar kejayaanku, datanglah ke Samarkand,” jawab Zohir menirukan ucapan Tamerlane (Timur Lenk), sang penakluk dan pendiri kerajaan Timurid Asia Tengah. Samarkand seperti buku besar pengetahuan yang semakin digali, semakin pula menyisakan banyak hal untuk dipelajari. Kota ini tidak hanya cantik, tetapi juga punya banyak cerita dan sarat sejarah. Zohir tidak melebih-lebihkan.
Samarkand, kata Marco Polo, adalah simbol konektivitas global. “Di sini, pedagang dari seluruh penjuru—Cathay (Tiongkok), India, Persia, dan negeri-negeri jauh yang nggak pernah Tanah Barat dengar namanya bertemu. Beragam bahasa dituturkan, semua keyakinan dihormati.”
Pergilah kami juga ke kota-kota lain seperti Bukhara dan Khiva, lagi-lagi napas saya dan Alex tersekat. Perpaduan antara seni dan ilmu pengetahuan dipamerkan di seluruh pelosok negeri. Membuktikan, mungkin yang saat ini kami saksikan hanyalah sisa secuil dari catatan Marco Polo yang menggemparkan Eropa dan mengubah peta penjelajahan dunia.
Sebelum membaca catatan Marco Polo, Eropa abad pertengahan meyakini peradaban di luar mereka adalah peradaban tanpa adab. Gereja menyebut Asia sebagai tempat penyembah berhala dan monster, tanah sesat yang harus diselamatkan. Namun, deskripsi tentang kemajuan arsitektur dan toleransi beragama justru menggambarkan sebuah peradaban agung dengan keunggulan yang tak terpikirkan oleh Eropa.
Penganut Buddha, Kristen, dan Islam hidup berdampingan. Masjid berkubah emas menandakan kemakmuran, gereja dengan pilar-pilar mengambang melambangkan kemajuan arsitektur, dan kanal irigasi yang menjadikan gurun-gurun sebagai lahan subur menandakan kemajuan pengetahuan. Soal ilmu astronomi orang-orang di Asia bahkan dinyatakan oleh Marco Polo melebihi pengetahuan para pemegang otorisasi gereja.
Lain lagi dengan Kazakhstan. Negara yang dijuluki sebagai negeri para pengembara ini punya cerita yang tak kalah unik dengan tiga negara Stan lainnya. Setelah berhasil melewati perbatasan Uzbekistan-Kazakhstan, lalu menuju ke Turkistan, kami melihat Sungai Syr Darya, sungai terpanjang kedua di Asia Tengah yang membentang di empat negara Stan.
“Itu Syr Darya!” Zohir menunjuk ke sungai yang pernah menjadi pusat sejarah peradaban sungai dan pusat utama Jalur Sutra selama lebih dari 2.000 tahun. Ketika mendengar nama sungai itu, saya teringat satu cerita lain. Marco Polo pernah tiba di tepi sebelah utara Sungai Syr Darya bagian Kazakhstan dan melihat sesuatu di luar nalarnya: jembatan ikan.
“Aku melihat sesuatu yang mustahil: para prajurit menunggang kuda menyeberangi sungai selebar tiga mil…. Mereka tidak berenang, tetapi berjalan di atas air! Ternyata, ribuan ikan sturgeon yang bertelur memadati sungai dan membentuk jembatan hidup di bawah kuku kaki kuda,” tulis Marco Polo.
Tentu saja, catatan Marco Polo tentang jembatan ikan ini dianggap bualan oleh bangsa Eropa. Hingga beratus-ratus tahun kemudian, banyak bukti arkeologis mendukung fenomena ekologis ini. Sturgeon beluga (Huso-huso) adalah ikan raksasa seukuran perahu—bisa mencapai lima meter lebih—yang bermigrasi dalam jumlah besar di Sungai Syr Darya untuk bertelur pada ratusan tahun lalu. Ikan ini dinyatakan punah pada 1991.
Menjelang ajal, gereja sempat meminta Marco Polo mengakui bahwa dia telah membuat jutaan kebohongan lewat catatannya. “Bahkan, apa yang aku tulis hanyalah secuil dari kebenaran. Aku menulis apa yang aku lihat, bukan apa yang aku dengar,” jawab Marco Polo.
Catatan yang dianggap bualan karena unthinkable—tak terpikiran dan tak terbayangkan oleh nalar manusia—kini menjadi laporan sains empiris abad XIII dan rujukan utama untuk sumber pengetahuan terkait Asia Tengah.
Catatan Marco Polo menjadi dokumentasi akurat sekaligus bukti bahwa Jalur Sutra bukanlah mitos—ia adalah jaringan global yang melampaui batas-batas geografis, budaya, juga nalar manusia pada masa itu. Catatan yang membuka mata Eropa bahwa mereka bukanlah pusat dunia, melainkan hanya satu simpul dari sebuah jaringan besar.
“Kita harus kembali ke sini, sih,” kata Alex. Kami berdua sedang jalan pagi di jalur setapak lembah yang diselimuti warna putih karena aprikot dan apel berbunga. Gunung-gunung menjulang dan di sisi lain jalan yang kami tapaki ada sungai berair bening mengalir, menuju danau yang membentang.
“Balik ke sini kita ketika aprikot kembali berbunga?” tanya saya.
Alex nyengir. Itu pertanda baik.
Ketika menyiapkan perjalanan Asia Tengah, saya dan Alex banyak bertanya kepada konsultan perjalanan yang memahami jalur ini. Kami mulai mengatur rute dan menabung selama dua tahun menggunakan Jenius. Saya mengaktifkan fitur Dream Saver yang saya namai khusus: Tan! Tan! Tan! Tan!
Untuk kebutuhan penginapan tertentu kami melakukan reservasi secara daring menggunakan Kartu Kredit Jenius. Rekomendasi penyewaan mobil dan jasa pemandu di tiap negara diperoleh dari konsultan perjalanan. Melakukan perjalanan darat lintas perbatasan secara mandiri membutuhkan persiapan matang, juga kelenturan untuk mengubah rencana sewaktu-waktu.
Sedangkan kebutuhan harian selama perjalanan, kami menyiapkan tabungan valas dalam mata uang dolar Amerika di Jenius. Tabungan Mata Uang Asing ini memungkinkan kami melakukan semua transaksi harian secara nontunai menggunakan m-Card (Kartu Debit Jenius) di berbagai tempat berlogo VISA di empat negara.
Kami juga gak perlu repot menukar uang ke beragam mata uang. Uang tunai secukupnya dalam mata uang setempat kami siapkan untuk keperluan khusus di daerah terpencil dan diperoleh melalui tarik tunai di ATM berlogo VISA.
Semua ada di ujung jari, mudah dan menyenangkan. Tiga puluh lima hari yang kami pikir cukup, ternyata tidak pernah cukup. Makin jauh kami menjelajah, makin dekat kami melihat, makin banyak hal yang tak kami ketahui dan justru memupuk rasa penasaran tentang Asia Tengah. Untuk yang satu ini, tak cukup dituntaskan dengan mata Marco Polo ataupun ujung jari.
Berjalanlah, bersama Jenius jika ingin segalanya lebih mudah.
Cerita perjalanan ini ditulis oleh Windy Ariestanty, Teman Jenius sekaligus penulis perjalanan, penyunting, penerjemah, dan penggagas patjarmerah–festival kecil literasi dan pasar buku keliling Nusantara. Windy bisa diikuti di Instagram @windy_ariestanty dan windyariestanty.com.