Kala itu, ada seorang agen kartu kredit yang sering mampir ke kantor dan menawarkan kartu tersebut.
Saat itu, saya punya pertanyaan, “Buat apa punya kartu kredit?”
Bukankah kartu kredit hanya akan bikin kita punya kebiasaan berutang? Apalagi kalau dengar cerita mengenai orang-orang yang dikejar debt collector gara-gara gak mampu bayar kartu kredit. Bahkan, ditagihnya gak cuma ke tempat tinggal, melaninkan juga ke kantor!
Namun, akhirnya saya mengajukan kartu kredit—untuk pertama kalinya. Sesederhana saya mau membantu si agen. Lagi pula, saya merasa gak yakin pengajuannya diterima.
Setelah mengisi formulir yang cukup banyak (formulirnya manual dan harus ada tanda tangan basah), dimulailah perjalanan saya dengan kartu kredit—dan menjadi pengalaman saya dengan cicilan pertama dalam hidup.
Yup, zaman dulu di era sebelum ada kartu kredit, kemungkinan pengalaman orang berutang adalah dengan melakukan pinjaman untuk membeli aset bernilai tinggi seperti cicilan rumah atau cicilan kendaraan pribadi.
Kredit konsumtif anak muda waktu itu adalah kartu kredit. Kartu kredit banyak diasosiasikan dengan kemudahan dalam mengakses lifestyle. Tiket pesawat dengan harga murah, promo hotel, belanja rumah tangga, belanja elektronik… semuanya jadi lebih menarik kalau pakai kartu kredit.
Kemudian ternyata asumsi saya ditolak bikin kartu kredit tadi gak kejadian. Setelah proses survei dan sebagainya, datanglah amplop berisi kartu kredit baru di meja saya.
Waduh, mau diapakan kartu kredit ini? Saya kan gak mau terjebak utang. Saat itu saya berpikir kalau gak semua orang punya privilese untuk bisa punya kartu kredit.
Saya simpan kartu kredit dengan limit Rp2,5 juta itu. Lagi pula saya gak harus bayar iuran tahunan, bukan?
Saya pun sampai ke pemikiran kalau kartu kredit bisa jadi alat jaga-jaga saat diperlukan—meskipun dalam hati berdoa semoga gak bakal perlu. Istilahnya, saat itu saya menjadikan kartu kredit sebagai dana darurat. (Maklum, kala itu belum belajar financial planning).
Bisa dibilang kartu kredit yang saya miliki itu “pasif” dan jarang digunakan.
Sampai akhirnya suatu waktu hal yang gak diharapkan terjadi: televisi di rumah rusak dan gak bisa diperbaiki. Saya beencana beli penggantinya nanti ketika sudah punya rezeki.
Sayangnya, TV adalah salah satu hiburan keluarga paling murah yang ada di rumah (saat itu internet belum menjadi sarana hiburan nomor satu).
Akhirnya, kami memutuskan untuk beli TV baru. Ketika sampai di toko dan memilih-milih, penjaga toko memberikan informasi kalau ada diskon dan program cicilan 3 bulan untuk pemilik kartu kredit.
Setelah saya kalkulasikan, ternyata harganya jauh lebih murah kalau membeli dengan kartu kredit dibandingkan tunai.
Itulah transaksi pertama saya dengan kartu kredit terjadi. Ternyata inilah fungsi kartu kredit!
Pengalaman di atas pun diikuti pengalaman-pengalaman lainnya. Yang paling menarik, ternyata pihak penerbit kartu mengapresiasi transaksi kita dengan kartu kredit.
Saya pun mulai membuka katalog kartu kredit yang sering mereka kirim. Wah, ternyata poin yang saya miliki bisa ditukar ke berbagai merchant, tambahan diskon, voucer belanja, sampai hadiah.
Menarik banget!
Dari awalnya anti, saya mulai menjadi smart shopper dengan kartu kredit.
Dari pengalaman tersebut, bisa dibilang kunci bertransaksi dengan kartu kredit adalah:
transaksi dilakukan secara disiplin,
menggunakan sesuai kapasitas keuangan,
hindari overlimit,
jangan telat bayar, dan
jangan bayar cicilan dengan minimum pembayaran.
Dengan melakukan 5 kunci tersebut, maka kamu bakal dapat banyak manfaat dari bertansaksi dengan kartu kredit.
Poinnya ini bukan cuma lumayan lho, tapi mengungtungkan. Bahkan, saya pernah menukar poin untuk membeli furnitur rumah gratis setelah ditukar dengan voucer belanja.
Bahkan, ada kerabat yang bisa naik top 5 maskapai dunia suite class pulang-pergi hanya dengan menukar poin tersebut dan membayar airport tax yang gak sampai 1/30 harga tiketnya!
Waktu pun terus berjalan. Kedisiplinan penggunaan kartu kredit berbuah—kali ini dengan hal berbeda.
Kamu tau gak bahwa kartu kredit itu artinya bukan cara bayar dengan cicilan pada awalnya? Melainkan, lebih tepatnya adalah semacam skor tingkat kepercayaan (credibility) dari bank kepada nasabah.
Jadi, semakin tinggi persepsi pihak pemberi pinjaman atas kemampuan bayar dan karakter kita dalam berutang, maka bank memberikan fasilitas pinjaman yang semakin tinggi.
Limit pinjaman akhirnya pun bisa bertambah! Dari awalnya Rp2,5 juta dalam waktu singkat meningkat sampai double digit.
Persepsi ini sekarang diformulasikan sebagai skor kredit. Biasanya pertimbangan paling dasar skor kredit ini adalah melihat 3 hal, yaitu:
karakter kedisiplinan bayar,
kemampuan bayar, dan
kondisi finansial dari peminjam (sumber pendapatan, profesi, utang lainnya dan nilainya).
Hal inilah yang harus dijaga. Dan di era sekarang, informasi ini bisa mudah diakses melalui SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) selama kamu memang pernah melakukan transaksi cicilan dengan Lembaga Jasa Keuangan resmi yang diawasi dan diatur oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Selama kualitas skor kredit kamu baik, maka terbuka juga akses kepada pinjaman lainnya suatu saat ketika kamu butuh. Misalnya pinjaman untuk usaha, membeli rumah, ataupun kendaraan. Begitu pula sebaliknya, akses akan tertutup jika kamu gagal mengelola kredibilitas di mata mereka.
Akhirnya setelah lebih dari 20 tahun menggunakan kartu kredit, saya melihat lebih banyak manfaat yang diperoleh dibandingkan masalahnya.
Cara pembayaran kartu kredit yang fleksibel sesuai kemampuan menjadi salah satu kelebihan untuk orang yang penghasilannya gak pasti seperti pebisnis.
Di balik pro dan kontra, ternyata benar bahwa kartu kredit bisa jadi kawan kalau kamu dapat mengelolanya dengan baik. Namun, akan menjadi lawan jika kamu ceroboh dan konsumtif.
Jadi, sudah coba pakai kartu kredit belum nih?
Artikel ini ditulis oleh Budi Raharjo, teman Jenius yang berprofesi sebagai Certified Financial Planner, juga Founder & Konsultan Perencanaan Keuangan OneShildt Financial Independence. Cek artikel dari para guest writer lain pada laman Blog Jenius.