Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya dalam kisaran 4,25-4,5% pada pertemuan hari Rabu, 29 Januari 2025.
Keputusan ini menandai perubahan arah setelah tiga kali pemangkasan suku bunga berturut-turut sejak September 2024. Langkah ini diambil di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik, terutama setelah pelantikan presiden baru Amerika Serikat pekan lalu.
Keputusan The Fed untuk tidak memangkas suku bunga kali ini sangat dinantikan oleh para pelaku pasar dan ekonom. Sebelumnya, sejak September 2024, bank sentral menurunkan suku bunga hingga satu poin persentase penuh sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam pertemuan terbaru, The Fed memilih untuk berhati-hati dan mempertahankan kebijakan moneter saat ini.
Ketua The Fed, Jerome Powell, dalam konferensi persnya menyatakan bahwa meskipun inflasi masih agak tinggi, pasar tenaga kerja tetap solid dan tingkat pengangguran stabil dalam beberapa bulan terakhir. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan utama dalam keputusan untuk tidak melanjutkan pemangkasan suku bunga.
Dalam pernyataan resminya, The Fed mengungkapkan beberapa alasan utama di balik keputusan ini, di antaranya sebagai berikut.
Tingkat pengangguran tetap rendah dan pasar tenaga kerja menunjukkan stabilitas, sehingga tidak memberikan tekanan signifikan bagi kebijakan moneter.
Meskipun ada kemajuan dalam menurunkan inflasi, The Fed masih melihat bahwa tekanan harga belum cukup reda untuk kembali memangkas suku bunga.
Ekonomi Amerika Serikat (AS) terus berkembang dengan kecepatan yang solid, sehingga tidak ada urgensi untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut dalam jangka pendek.
Keputusan ini dapat memberikan dampak yang beragam bagi pasar keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Investor mungkin akan menyesuaikan ekspektasi mereka terkait potensi pemangkasan suku bunga lebih lanjut. Stabilitas suku bunga dapat memberikan sinyal positif bagi sektor-sektor tertentu yang mengandalkan suku bunga tetap.
Namun, bagi Wall Street dan pasar saham Asia, keputusan ini justru berdampak negatif karena ekspektasi pelonggaran kebijakan yang tertunda dapat mengurangi likuiditas dan memicu aksi jual saham.
Dengan suku bunga tetap, imbal hasil obligasi bisa mengalami penyesuaian, tergantung pada bagaimana investor merespons prospek kebijakan moneter ke depan. Pasar obligasi AS dan global bisa mengalami tekanan karena suku bunga yang tetap tinggi akan mengurangi minat terhadap surat utang.
Mata uang AS bisa tetap kuat jika suku bunga bertahan lebih lama, terutama jika dibandingkan dengan bank sentral negara lain yang mungkin lebih agresif dalam memangkas suku bunga.
Powell menegaskan The Fed masih menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum membuat keputusan berikutnya. Bank sentral akan mempertimbangkan dua faktor utama sebelum melonggarkan kebijakan.
Jika inflasi terus mendekati target 2%, The Fed mungkin akan kembali mempertimbangkan pemangkasan suku bunga.
Jika terjadi peningkatan pengangguran atau perlambatan dalam penciptaan lapangan kerja, The Fed bisa terdorong untuk melonggarkan kebijakan guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dengan kondisi yang masih dinamis, pasar akan terus mencermati langkah-langkah The Fed dalam beberapa bulan ke depan. Apakah suku bunga akan tetap bertahan atau mulai kembali dipangkas? Semua bergantung pada data ekonomi yang masuk dan dinamika global yang berkembang.