Pekan lalu, pasar ekuitas Amerika Serikat bak roller coaster, yanf mabna didominasi oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan spekulasi kebijakan suku bunga Federal Reserve.
Senin dibuka dengan secercah harapan. Wall Street melonjak, dipicu meredanya kekhawatiran harga minyak setelah konflik Timur Tengah tak berdampak besar pada produksi.
Nasdaq Composite Index memimpin dengan kenaikan 1,52%, menjadi persentase harian terbesar sejak akhir Mei. Harapan gencatan senjata antara Israel dan Iran, meski Teheran meminta intervensi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sedikit memberi kelegaan. Investor juga menanti keputusan The Fed dengan mayoritas memprediksi suku bunga stabil hingga September.
Namun, optimisme ini mendadak sirna pada Selasa. Pasar ambruk setelah Presiden Trump memperkeras retorikanya soal konflik Timur Tengah, bahkan mengisyaratkan kemungkinan intervensi Amerika Serikat. Dow Jones Industrial Average merosot 0,7%, S&P 500 turun 0,8%, dan Nasdaq Composite Index kehilangan 0,9%.
Kecemasan geopolitik menjadi fokus utama, bersamaan dengan dimulainya pertemuan kebijakan moneter The Fed. Data ekonomi yang lebih lemah daripada perkiraan, dengan penjualan ritel Amerika Serikat yang turun 0,9% di Mei, turut menekan pasar. Hanya sektor energi dan saham-saham pertahanan yang mampu bertahan, terdorong kenaikan harga minyak dan prospek konflik memanas.
Pada Rabu, Wall Street bergerak bervariasi. Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyatakan inflasi harga barang diperkirakan naik selama musim panas akibat tarif Presiden Trump. Meski The Fed mempertahankan suku bunga sesuai ekspektasi, Powell mengisyaratkan dampak tarif akan menjadi “kartu liar” dalam keputusan kebijakan moneter. Dow Jones turun tipis, S&P 500 melemah, sementara Nasdaq Composite Index berhasil naik.
Setelah libur Juneteenth pada Kamis, pasar Amerika Serikat kembali bergejolak pada Jumat. S&P 500 dan Nasdaq ditutup melemah di tengah kekhawatiran investor terhadap potensi eskalasi konflik Timur Tengah menjelang akhir pekan, terutama setelah Gedung Putih menyatakan Trump akan memutuskan dalam dua minggu apakah Amerika Serikat akan terlibat.
Meskipun Dow Jones Industrial Average naik tipis, S&P 500 turun dan Nasdaq Composite ikut turun. Secara mingguan, Dow cenderung stagnan, S&P 500 turun, dan Nasdaq naik. Volume perdagangan meningkat signifikan karena triple witching menandai berakhirnya kontrak opsi dan berjangka. Komentar beragam dari pejabat The Fed mengenai risiko inflasi akibat tarif dan urgensi pemotongan suku bunga juga menambah ketidakpastian di pasar.
Dalam sepekan terakhir, pasar ekuitas Eropa mengalami guncangan signifikan, didorong oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan keputusan bank sentral.
Awalnya, pasar sempat ceria pada Senin. Optimisme di sektor perbankan dan kabar baik dari perusahaan seperti Kering dan Entain mengangkat bursa. Namun, sentimen positif itu tak bertahan lama. Sejak Selasa hingga Kamis, indeks acuan Eropa, STOXX 600, terus merosot, bahkan mencapai titik terendah dalam lebih dari sebulan.
Konflik yang memanas ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan minyak dan potensi campur tangan Amerika Serikat, yang secara langsung menekan selera risiko investor dan melemahkan sebagian besar sektor, terutama perbankan serta travel and leisure.
Selain geopolitik, keputusan suku bunga bank sentral turut menjadi sorotan. Bank sentral Swedia, Swiss, dan Norwegia memangkas suku bunga, sementara Bank of England mempertahankan suku bunga sesuai ekspektasi. Pasar juga mencermati sinyal dari Federal Reserve AS terkait prospek pertumbuhan dan inflasi di tengah ketidakpastian perdagangan global dan dampak tarif. Spekulasi mengenai kesepakatan tarif antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta komentar dari pejabat Komisi Eropa dan Goldman Sachs, menambah kerumitan bagi investor yang mencoba memprediksi arah kebijakan moneter.
Menjelang akhir pekan, tepatnya pada Jumat, pasar Eropa akhirnya menghentikan tren penurunan. Hal ini karena meredanya kekhawatiran setelah Amerika Serikat menunda keputusannya mengenai keterlibatan dalam konflik Timur Tengah. Sinyal dari Gedung Putih ini memberikan sedikit kelegaan dan menghidupkan kembali minat terhadap aset berisiko. Meskipun demikian, pasar tetap mencatat kerugian mingguan kedua berturut-turut, menandakan kekhawatiran akan dampak global dari ketegangan di Timur Tengah masih membayangi. Potensi kenaikan harga energi akibat konflik ini masih menjadi perhatian utama, yang dapat memengaruhi keputusan suku bunga bank sentral Eropa di masa depan.
Sentimen pasar di Asia menunjukkan volatilitas sepanjang minggu, terutama dipengaruhi oleh data ekonomi Tiongkok dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Pada awal minggu, pasar Tiongkok dibuka dengan positif berkat angka ekonomi yang menggembirakan, seperti kenaikan penjualan ritel dan output pabrik yang mengangkat optimisme investor. Indeks Shanghai Composite dan Shenzhen Component menguat, menunjukkan respons positif terhadap laporan-laporan ekonomi ini. Namun, kegembiraan tersebut sedikit terganjal oleh berlanjutnya stagnasi harga rumah baru di Tiongkok.
Memasuki pertengahan minggu, sentimen pasar mulai bergeser ke arah kehati-hatian karena konflik Timur Tengah yang memanas. Kekhawatiran akan ketidakstabilan regional menekan pasar saham Tiongkok, menyebabkan indeks sedikit melemah pada hari Selasa. Meskipun ada upaya bank sentral Tiongkok untuk menstabilkan pasar dengan memperkenalkan delapan langkah stimulus di Forum Lujiazui pada hari Rabu, termasuk rencana untuk pusat operasi global renminbi digital, pasar tetap cenderung datar. Namun, harapan untuk stimulus yang lebih konkret masih tertuju pada pertemuan Politbiro bulan Juli.
Menjelang akhir minggu, ketegangan geopolitik semakin mendominasi sentimen, dengan laporan tentang kemungkinan serangan Amerika Serikat terhadap Iran yang memicu kekhawatiran akan konflik yang lebih luas. Meskipun People’s Bank of China mempertahankan suku bunga acuan pinjaman (LPR) stabil pada hari Jumat, pasar Tiongkok tetap berada di zona negatif, mencerminkan kegelisahan investor terhadap perkembangan global.
Minggu lalu, pasar keuangan Indonesia diliputi sentimen negatif yang cukup dominan, terutama akibat gejolak geopolitik global. Pada Senin, pasar langsung bereaksi terhadap peningkatan total utang Indonesia di bulan April 2025 dan sentimen geopolitik Timur Tengah yang memanas. IHSG dan LQ45 melemah signifikan, didorong oleh saham-saham kelas berat yang menjadi kontributor pelemahan. Meskipun demikian, rupiah justru menunjukkan apresiasi tipis di tengah pelemahan pasar saham dan obligasi, mungkin mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi domestik yang didukung oleh derasnya aliran modal asing ke SBN. Namun, kekhawatiran akan ketidakpastian global masih membayangi.
Memasuki Selasa, ada sedikit angin segar. Meskipun kinerja APBN Mei 2025 melambat, pasar saham dan obligasi justru terdorong optimisme berkat potensi kemajuan pembicaraan tarif perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok setelah pertemuan G-7. IHSG dan LQ45 bangkit, dipimpin oleh saham-saham dengan bobot besar pada Indeks. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun juga sedikit menurun, menunjukkan adanya pembelian obligasi. Investor pun menantikan keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang akan diumumkan keesokan harinya.
Sayangnya, Rabu kembali membawa sentimen negatif. Pernyataan Donald Trump mengenai “penyerahan tanpa syarat” Iran memicu kekhawatiran gangguan rantai pasokan global, terutama untuk komoditas energi, yang kemudian berdampak pada biaya produksi dan harga konsumen. Pasar saham global melemah, dan Indonesia tidak terkecuali, dengan saham-saham utama menjadi kontributor pelemahan. Meskipun Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuannya di 5,5% sesuai ekspektasi, rupiah kembali terdepresiasi.
Puncak dari aksi jual terjadi pada Kamis, di mana sentimen risk-off melanda pasar saham, obligasi, dan nilai tukar rupiah. IHSG dan LQ45 anjlok tajam, dan rupiah mengalami pelemahan harian terbesar sejak April 2025. Kenaikan imbal hasil obligasi juga menandakan aksi jual oleh investor. Laporan mengenai potensi serangan Amerika Serikat terhadap Iran dan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell tentang potensi kenaikan inflasi semakin memperburuk keadaan, mengurangi peluang penurunan suku bunga The Fed di masa mendatang.
Pada Jumat, meskipun ada secercah harapan dari meredanya ketegangan geopolitik dan pelemahan dolar Amerika, pasar saham dan obligasi Indonesia tetap lesu. Saham-saham berkapitalisasi besar terus menekan indeks, dan imbal hasil obligasi kembali naik. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sentimen positif, kekhawatiran yang mendalam masih membayangi, membuat investor tetap berhati-hati dan memilih untuk melepas asetnya.