Laporan inflasi terbaru dan hasil pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) menciptakan sentimen negatif di pasar selama sepekan.
Menurut survei dari Reuters, data inflasi Amerika Serikat (AS) yang diwakili oleh indeks Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) mencatat kenaikan tahunan sebesar 2,4% pada November, sedikit di bawah perkiraan ekonom sebesar 2,5%.
Selain itu, belanja konsumen pada November menunjukkan peningkatan, yang menandakan ketahanan ekonomi AS yang masih cukup kuat. Setelah data tersebut rilis, ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga Federal Reserve mengalami sedikit perubahan.
Para pedagang kini memperkirakan pemangkasan suku bunga pertama akan terjadi pada Maret 2025, disusul dengan pemangkasan kedua pada Oktober 2025. Sebelumnya, pemangkasan kedua ini baru diantisipasi terjadi pada Desember 2025.
Pada hari Rabu, Federal Reserve mengumumkan pemangkasan suku bunga ketiga sepanjang tahun 2024. Meski demikian, dalam Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP), Fed hanya mengisyaratkan dua pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin untuk tahun 2025, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang mencakup empat pemangkasan pada September.
Kebijakan di atas mencerminkan pengakuan terhadap stabilitas ekonomi yang terus terjaga meskipun inflasi tetap berada pada level yang relatif tinggi.
Mayoritas indeks utama di Eropa mencatat penurunan untuk minggu kedua secara berturut-turut, dengan sektor kesehatan menjadi pemicu utama.
Saham perusahaan Denmark, Novo Nordisk, anjlok setelah hasil uji coba obat obesitas generasi berikutnya yang tidak memenuhi ekspektasi pasar.
Sementara itu, Presiden terpilih AS, Donald Trump, memicu ketegangan perdagangan dengan Uni Eropa (UE) dengan menantang UE untuk membeli minyak dan gas dari AS guna mengurangi defisit perdagangan yang besar. Jika tidak, Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru yang akan membebani sentimen pasar.
Di sisi lain, investor mulai meninggalkan aset berisiko di Eropa setelah Federal Reserve mengisyaratkan laju pemotongan suku bunga yang lebih lambat tahun depan.
Meskipun The Fed memangkas suku bunga sesuai ekspektasi pada Rabu, Ketua Jerome Powell menegaskan bahwa pemangkasan lebih lanjut akan sangat bergantung pada kemajuan dalam menurunkan inflasi yang masih tinggi.
Tentunya ketidakpastian tersebut menambah tekanan pada ekuitas global, yang mengalami volatilitas sepanjang minggu.
Berbagai saham di Asia mencatat penurunan secara mingguan yang dipengaruhi oleh katalis yang cenderung seimbang. People’s Bank of China (PBOC) mempertahankan suku bunga acuan pinjaman tidak berubah pada penetapan bulanan hari Jumat, seperti yang diharapkan.
Namun, tekanan deflasi yang berlanjut dan lemahnya permintaan kredit meningkatkan kebutuhan akan stimulus tambahan. Meski demikian, ruang untuk pelonggaran moneter segera terbatas oleh menyempitnya margin bunga akibat penurunan imbal hasil dan pelemahan yuan.
Selain itu, defisit anggaran Tiongkok untuk tahun 2025 dan komposisinya terlihat lebih positif dari perkiraan. Hal ini menunjukkan kesiapan Beijing dalam menetapkan target pertumbuhan tinggi dan anggaran fiskal yang memecahkan rekor guna meningkatkan kepercayaan pasar.
Namun, menurut analisis Morgan Stanley, rincian lebih lanjut mengenai kebijakan tersebut kemungkinan baru akan dirilis pada Maret.
Saham di Jepang juga melemah sepanjang pekan setelah Bank of Japan (BOJ) mempertahankan suku bunga di level 0,25%. Komentar bernada dovish dari Gubernur Kazuo Ueda mendorong nilai yen ke level terendah lima bulan di 157,80 per USD, yang semakin menambah tekanan pada biaya impor.
Pasar saham Indonesia mencatat penurunan signifikan sepanjang pekan ini dengan sektor material dasar, properti, dan industri yang memimpin pelemahan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak mampu bertahan dari gempuran sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri.
Investor asing pun tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) lebih dari Rp5 triliun. Hal ini mencerminkan sentimen pasar yang kurang optimis terhadap prospek pasar domestik.
Salah satu pemicu utama aksi jual adalah meningkatnya permintaan dolar Amerika yang disebabkan oleh revisi kebijakan Federal Reserve. Bank sentral AS tersebut menurunkan proyeksi pemangkasan suku bunga untuk tahun depan menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 75 basis poin.
Langkah tersebut mencerminkan sikap hati-hati The Fed terhadap inflasi yang masih sulit dikendalikan dan ketidakpastian ekonomi global. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melemah, memperburuk tekanan terhadap pasar saham domestik.
Di sisi domestik, pemerintah mengumumkan kebijakan insentif seiring rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Kebijakan itu diharapkan mampu mendorong penerimaan negara dan mendukung anggaran belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, insentif tersebut belum cukup kuat untuk menopang IHSG yang tertekan oleh sentimen eksternal.
Secara keseluruhan, faktor eksternal, terutama kebijakan Federal Reserve, memberikan dampak yang lebih besar terhadap pergerakan IHSG dibandingkan upaya domestik.
Pelaku pasar masih cenderung berhati-hati, menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kebijakan global dan bagaimana pemerintah Indonesia akan menavigasi tantangan ini untuk menjaga stabilitas pasar.
Reksa dana obligasi yang turun lebih dari 1% dalam 3 bulan terakhir per 13 Desember 2024 berdasarkan total return:
Schroder Dana Mantap Plus II
Ashmore Dana Obligasi Nusantara
BNI-AM Pendapatan Tetap Syariah Ardhani
Manulife Obligasi Negara Indonesia II
Mandiri Investa Dana Obligasi II
Syailendra Fixed Income Fund Kelas A