Indeks utama Amerika seperti S&P 500 dan NASDAQ cenderung bergerak fluktuatif menguat terbatas, didorong oleh berbagai faktor termasuk laporan pendapatan perusahaan-perusahaan besar dan ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga Federal Reserve.
Pasar saham berada di bawah tekanan, dipicu oleh kekhawatiran mengenai inflasi dan ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed. Sementara itu, para investor menantikan data ekonomi dan laporan keuangan kuartal III dari perusahaan-perusahaan besar untuk mendapat gambaran lebih jelas tentang prospek ekonomi dan kemungkinan langkah The Fed berikutnya. Namun, seiring dengan rilisnya beberapa laporan yang optimistis, sentimen pasar mulai pulih di pertengahan minggu.
Sektor teknologi, terutama saham mega cap seperti Apple, Microsoft, dan Google memainkan peran penting dalam pergerakan indeks, meskipun ada kekhawatiran mengenai valuasi saham-saham teknologi yang dianggap terlalu mahal. Selain itu, sektor kesehatan dan konsumer defensif juga menunjukkan kinerja yang lebih stabil karena dianggap lebih tahan terhadap ketidakpastian ekonomi.
Spekulasi tentang kemungkinan stimulus ekonomi dari Tiongkok dan data tingkat inflasi Eropa membawa sentimen positif ke pasar saham Eropa. Indeks-indeks utama di Eropa mengalami penguatan, dengan FTSE 100 di Inggris, DAX di Jerman, dan CAC 40 di Prancis yang mencatat kenaikan seiring optimisme pasar. Kenaikan ini juga dipengaruhi sektor teknologi dan sektor energi yang mengalami penguatan.
Indeks FTSE 100 pun mengalami penguatan yang konsisten. Faktor utama yang mendorong kenaikan adalah laporan pendapatan perusahaan yang lebih baik dari perkiraan dan harapan bahwa Bank of England akan menahan suku bunga setelah kenaikan inflasi yang terkendali.
Indeks DAX di Jerman juga bergerak positif sepanjang minggu dengan sektor teknologi menjadi pendorong utama. Indeks CAC 40 mencatatkan kenaikan moderat, dipimpin oleh saham sektor teknologi dan farmasi. Pasar Prancis mendapat dorongan dari laporan pendapatan perusahaan besar seperti L’Oréal dan TotalEnergies, yang menunjukkan peningkatan keuntungan di tengah kondisi pasar yang menantang.
Data ekspor Tiongkok menunjukkan pertumbuhan tahunan sebesar 2,4% pada bulan September 2024, jauh di bawah ekspektasi yang sebesar 6%. Hal ini merupakan penurunan signifikan dari bulan Agustus yang mencatat pertumbuhan 8,7%.
Melemahnya permintaan global, terutama dari AS dan Eropa, berdampak pada ekspor Tiongkok. Hal ini menambah kekhawatiran atas permintaan global yang melemah, meskipun beberapa sektor seperti elektronik dan tekstil tetap memberikan kontribusi. Stimulus yang diberikan pemerintah Tiongkok belum berhasil mendorong sentimen pasar secara signifikan.
Ketidakpastian kebijakan fiskal Tiongkok dan kekhawatiran mengenai prospek pertumbuhan ekonomi Tiongkok serta lemahnya data ekspor dan pinjaman membuat para investor tetap berhati-hati. Sektor-sektor yang berkaitan dengan ekspor, terutama manufaktur dan teknologi, terkena dampak paling besar karena ketidakpastian permintaan eksternal.
Indeks saham Jepang juga terkena dampak dari pelemahan yen yang mendekati level 150 per dolar AS. Hal ini memicu kekhawatiran tentang inflasi dan biaya impor yang semakin tinggi. Investor juga mengantisipasi kebijakan moneter lebih lanjut dari Bank of Japan.
Pasar saham dan obligasi di Indonesia naik mengiringi terapresiasinya nilai tukar rupiah setelah Bank Indonesia (BI) menahan tingkat suku bunga. IHSG naik 3,18% dan LQ45 naik 2,97% dengan saham-saham di sektor material dasar, konsumer primer, properti dan teknologi yang memimpin penguatan.
Pasar obligasi menguat dengan imbal hasil acuan tenor 10 tahun turun 2.2 basis poin ke level 6,661 persen. Kombinasi dari stabilitas makroekonomi dan keputusan kebijakan moneter yang konsisten memberikan dorongan bagi pasar obligasi Indonesia untuk terus menarik minat investor.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Oktober 2024 mengumumkan keputusan penting terkait kebijakan suku bunga acuannya untuk menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian pasar keuangan global, terutama yang dipicu oleh ketegangan geopolitik dan dinamika kebijakan moneter global.
BI menganggap hal ini merupakan langkah bijak untuk menghindari risiko keluarnya modal asing dari Indonesia, yang bisa memicu volatilitas lebih lanjut pada pasar keuangan. Dengan mempertahankan BI Rate di level 6%, BI memastikan stabilitas ekonomi dalam negeri tetap terjaga sambil memantau ketat situasi global.
Bank Indonesia juga mempertimbangkan stabilitas inflasi yang diperkirakan akan tetap berada dalam sasaran 2,5±1% hingga tahun 2025 sambil terus mencermati ruang untuk potensi penurunan suku bunga di masa depan. Fokus utama kebijakan moneter saat ini adalah menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Di bawah ini merupakan reksa dana saham yang NAV-nya telah turun lebih dari 3% dalam satu bulan terakhir.
BNI-AM IDX Pefindo Prime Bank
Syailendra MSCI Indonesia Value Index Fund Kelas A
BNI-AM Pefindo i-Grade
Di bawah merupakan reksa dana obligasi yang mencatatkan Sharpe ratio positif saat ini.
Ashmore Dana Obligasi Nusantara
BNI-AM Teakwood
Manulife Obligasi Negara Indonesia II