Market Update 2 Juni 2025

writter Lanjar Nafi

Pasar Amerika: Drama Tarif Trump dan Kejutan Nvidia

Pasar saham Amerika Serikat bergerak naik turun tajam sepanjang pekan terakhir Mei, diwarnai sentimen campur aduk seputar kebijakan tarif Presiden Donald Trump dan kinerja keuangan raksasa teknologi. Investor dibuat waswas, tapi juga sempat bersorak gembira tergantung harinya.

Pekan dibuka kuat pada Selasa, setelah Trump secara tak terduga menunda rencana pemberlakuan tarif 50% terhadap Uni Eropa. Ditambah lagi, data kepercayaan konsumen melonjak, memberi angin segar ke pasar. Berbagai saham teknologi dan semikonduktor langsung melesat, mendorong indeks utama Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq naik lebih dari 1,7%. Harapan tinggi menjelang rilis laporan keuangan Nvidia juga ikut memperkuat reli ini.

Namun, suasana berubah pada Rabu. Risalah pertemuan The Fed (FOMC) menunjukkan kekhawatiran serius terhadap inflasi dan ketidakpastian pasar tenaga kerja. Sentimen pasar pun melemah. Saham perusahaan desain cip seperti Cadence dan Synopsys tertekan hebat, menyusul laporan adanya larangan penjualan perangkat lunak ke perusahaan Tiongkok. Ketegangan dagang kembali mencuat.

Kabar baik datang lagi pada Kamis, saat Nvidia melaporkan laba kuartalan yang luar biasa: $18,8 miliar. Tak elak, saham langsung melambung dan memberi dorongan positif ke pasar secara keseluruhan, meski penguatannya tak sebesar awal pekan.

Di sisi lain, drama kebijakan dagang kembali menciptakan ketidakpastian: pengadilan perdagangan Amerika Serikat sempat memblokir sebagian tarif Trump, lalu keputusan itu ditangguhkan sementara oleh pengadilan banding. Investor pun kembali bingung ke mana arah kebijakan dagang akan berlabuh.

Jumat ditutup relatif datar. Pasar tampak ragu menyikapi komentar terbaru Trump yang kembali menyerang Tiongkok, meski dibumbui nada optimistis soal kemungkinan kesepakatan dagang.

Meski penuh gejolak, hasil akhir cukup manis. Dalam sepekan, indeks S&P 500 dan Nasdaq tetap mencatat kinerja mingguan yang positif. Bahkan sepanjang Mei, performa keduanya cukup mengesankan: S&P 500 naik sekitar 6,2%, sementara Nasdaq melonjak 9,6%.

Dorongannya datang dari beberapa faktor: tekanan tarif yang sedikit mereda, laporan keuangan perusahaan yang solid, inflasi yang tetap terkendali, dan harapan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga pada September mendatang.

Pasar Eropa: Menguat Meski Dihantui Drama Tarif Amerika Serikat

Pasar saham Eropa menutup bulan Mei dengan catatan positif, setelah sempat mengalami naik turun seiring ketidakpastian kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Kabar baik datang saat awal pekan, ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan menunda rencana tarif 50% terhadap Uni Eropa. Langkah itu langsung mendorong euforia pasar indeks pan-Eropa STOXX 600 naik hampir 1%, sementara DAX Jerman bahkan sempat menembus rekor di atas 24.200 poin.

Saham otomotif, pertahanan, dan barang mewah memimpin reli. Sektor pertahanan khususnya jadi bintang, di tengah ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina, serta kemungkinan sanksi tambahan terhadap Moskow. Berbagai saham seperti Rheinmetall dan Leonardo mencatat lonjakan signifikan.

Meski demikian, optimisme itu tak bertahan lama. Memasuki pertengahan pekan, pasar mulai gelisah. Ketidakpastian kembali menyeruak, menyusul kabar negosiasi antara produsen mobil Eropa dengan pemerintah Amerika Serikat, serta munculnya serangkaian data ekonomi yang kurang menggembirakan. Di antaranya adalah harga impor yang turun dan angka pengangguran yang naik di Jerman sinyal bahwa mesin ekonomi Eropa mungkin mulai kehilangan tenaga.

Ditambah lagi, putusan pengadilan perdagangan Amerika Serikat yang membatalkan sebagian tarif Trump sempat menciptakan kebingungan, sebelum kemudian dibantah oleh pemerintah AS sendiri. Pasar pun kembali hati-hati. STOXX 600, DAX, CAC, dan FTSE mulai kehilangan momentum.

Meski begitu, penutupan bulan tetap membawa kabar baik. STOXX 600 berhasil mencetak kenaikan bulanan pertama dalam tiga bulan terakhir, dengan penguatan sekitar 4%. Berbagai sektor defensif seperti utilitas dan kesehatan menjadi penopang utama menjelang akhir pekan, meredam tekanan dari saham-saham yang terkena dampak aksi ex-dividend seperti Carrefour dan Sanofi.

Tambahan sentimen positif datang dari Jerman, yang mana data inflasi yang melandai memperkuat ekspektasi bahwa Bank Sentral Eropa akan segera menurunkan suku bunga. Harapan tersebut memberi semangat baru bagi investor, meski bayang-bayang ketegangan dagang global masih enggan benar-benar pergi.

Pasar Asia: Tekanan Tarif dan Sentimen Global Bikin Investor Gelisah

Pasar saham Asia mengalami roller-coaster sepanjang pekan terakhir Mei 2025, dipengaruhi gejolak kebijakan perdagangan global, sentimen perusahaan, dan data ekonomi yang saling tarik menarik.

Pekan dimulai dengan tekanan berat dari Tiongkok. Berbagai saham di Negeri Tirai Bambu melemah tajam setelah Presiden Amerika Serikat kembali melontarkan ancaman tarif kali ini menyasar iPhone dengan beban 25%, bahkan merencanakan tarif tambahan hingga 50% mulai 1 Juni. Tak heran, saham pemasok Apple seperti BYD dan Goertek langsung terpuruk. Sektor teknologi dan otomotif pun ikut terseret turun.

Di pertengahan pekan, fokus pasar bergeser ke arah mata uang dan arah kebijakan moneter di kawasan. Dolar Amerika menguat setelah rilis data ekonomi yang solid, membuat mata uang Asia bergerak campuran. Investor menanti keputusan Bank of Korea terkait suku bunga, di tengah ekspektasi pelonggaran kebijakan setelah data kontraksi ekonomi yang mengejutkan.

Sementara itu, pasar di Asia Tenggara seperti Filipina dan Singapura justru ikut menguat, mengikuti angin positif dari Wall Street. Di Korea Selatan, indeks KOSPI bahkan melonjak ke level tertinggi dalam tiga bulan, didorong optimisme konsumen Amerika Serikat dan prospek penyesuaian kebijakan obligasi oleh Jepang.

Meski demikian, suasana kembali berubah menjelang akhir pekan. Ketidakpastian baru muncul setelah pengadilan Amerika Serikat membatalkan sebagian tarif dagang, akan tetapi langsung dibalas dengan banding dari pemerintah Amerika Serikat membuat arah kebijakan perdagangan kembali buram. Pasar pun bereaksi negatif. Indeks Nikkei Jepang terkoreksi lebih dari 1%, dan indeks CSI 300 Tiongkok serta Hang Seng Hong Kong ikut tergelincir. Inflasi Tokyo yang melampaui perkiraan juga tak membantu, justru memperkuat kekhawatiran pasar.

Meskipun berbagai saham teknologi di Wall Street seperti Nvidia terus bersinar, pasar Asia tetap dihantui kehati-hatian. Sentimen global yang rapuh dan negosiasi dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang tak kunjung jelas membuat investor memilih bermain aman menjelang pergantian bulan.

Pasar Indonesia: Sentimen Suram dan Investor Pilih Aman

Menjelang libur panjang, pasar saham Indonesia cenderung melemah, seiring tekanan dari pasar regional dan sikap hati-hati pelaku pasar domestik. Awal pekan sudah dibuka dengan awan mendung pelemahan indeks saham di Hong Kong dan Tiongkok ikut menyeret sentimen di Tanah Air. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,36% pada Senin, sementara berbagai saham unggulan bergerak campuran.

Meski pemerintah mengumumkan enam stimulus ekonomi yang akan digelontorkan mulai 5 Juni untuk mendongkrak ekonomi kuartal II tahun 2025, pasar tampaknya belum yakin. Respons pasar pun datar, mencerminkan skeptisisme investor atas efektivitas stimulus ini dalam mendorong daya beli masyarakat dan memperkuat pertumbuhan.

Pada Selasa, IHSG sempat mencatat penguatan tipis 0,15%. Namun, ini lebih karena rotasi antarsektor, bukan karena adanya sentimen positif yang kuat. Investor justru lebih fokus pada perkembangan eksternal: rapat OPEC+ yang membahas potensi kenaikan produksi minyak, kekhawatiran atas permintaan global yang melemah, serta tensi geopolitik dan perang dagang yang kembali memanas.

Pasar obligasi pun tak luput dari tekanan. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah naik, sementara nilai tukar rupiah terus tertekan menandakan arus keluar dana asing secara perlahan tapi pasti.

Rabu menjadi hari perdagangan terakhir di pekan itu. IHSG kembali turun 0,32%, sedangkan indeks LQ45 terkoreksi 0,42%. Banyak investor memilih untuk tidak mengambil risiko tambahan menjelang long weekend, memperkuat pola wait and see.

Rilis resmi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 memberi sedikit panduan arah kebijakan fiskal tahun depan. Namun, dengan proyeksi nilai tukar yang konservatif dan target pertumbuhan ekonomi yang “aman”, pasar menilai pemerintah masih memilih untuk menyiapkan bantalan menghadapi ketidakpastian global. Di sisi lain, komitmen pengentasan kemiskinan memang terdengar ambisius, tapi belum cukup kuat untuk mengangkat sentimen pasar dalam jangka pendek.


SMBC Indonesia tidak bertanggung jawab atas pernyataan apa pun sehubungan dengan keakuratan atau kelengkapan informasi yang terkandung pada artikel ini atau atas kehilangan atau kerusakan yang timbul dari penggunaan isi artikel ini.
Informasi yang terkandung dalam artikel ini adalah informasi publik, tidak dimaksudkan dan tidak seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Pengguna tidak boleh menyalin atau menggunakan isi artikel ini untuk tujuan apa pun atau mengungkapkan isinya kepada orang lain tanpa persetujuan sebelumnya dari SMBC Indonesia. Isi artikel ini dapat berubah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Pengguna disarankan untuk menilai kemampuan sendiri dalam menanggung risiko keuangan dan lainnya terkait investasi atau produk apa pun, dan untuk membuat penilaian independen atau mencari nasihat independen sehubungan dengan masalah apa pun yang tercantum pada artikel ini.