Kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya hard landing pada ekonomi AS mulai mereda setelah data terbaru menunjukkan adanya pelonggaran kebijakan dan perlambatan ekonomi yang masih sesuai dengan ekspektasi pasar. Hal ini mendorong kembalinya aksi beli di pasar saham dan obligasi AS.
Inflasi di sisi produsen tercatat melambat dari sebelumnya 2,6% menjadi 2,2%, sementara inflasi konsumen turun menjadi 2,9% dari 3,0%. Dengan data tersebut, pasar tetap memprediksi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan September 2024.
Selama sepekan terakhir, saham-saham di sektor teknologi mengalami lonjakan, sementara harga obligasi juga mencatat kenaikan. Pekan ini investor akan menunggu hasil Risalah FOMC dan data awal kinerja manufaktur di AS versi S&P.
Terbawa oleh sentimen positif dari pasar global, saham-saham di Eropa mencatatkan kenaikan signifikan, dengan indeks-indeks utama di kawasan tersebut melonjak rata-rata lebih dari 2 persen. Kenaikan ini didorong oleh ekspektasi bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) akan mengambil tindakan lebih agresif dalam melonggarkan kebijakan moneternya, mengingat data terbaru menunjukkan adanya perlambatan yang semakin nyata dalam perekonomian Eropa.
Pelambatan ini memicu spekulasi bahwa ECB perlu mempercepat langkah-langkah stimulus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Fokus investor kini beralih ke data inflasi Eropa yang akan dirilis pada pekan ini. Data ini sangat dinantikan karena akan memberikan indikasi lebih lanjut mengenai tingkat tekanan inflasi di kawasan tersebut, dan apakah ECB perlu memperluas kebijakan pelonggarannya untuk mencegah perlambatan ekonomi yang lebih dalam.
Pasar saham di Jepang menguat signifikan, melanjutkan tren positif setelah Bank of Japan (BOJ) menyatakan bahwa mereka tidak akan menaikkan suku bunga lebih lanjut hingga volatilitas yen Jepang (JPY) terhadap dolar AS (USD) mereda.
Kebijakan ini diambil karena penguatan yen yang signifikan dapat berdampak negatif pada pasar keuangan dan prospek perusahaan-perusahaan di Jepang. Stabilitas mata uang menjadi fokus utama untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Sementara itu, di Tiongkok, pasar saham bergerak lebih moderat. People’s Bank of China (PBOC) menyatakan komitmennya untuk memperkuat kebijakan moneter dan keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi, namun tanpa mengambil langkah-langkah yang drastis.
Gubernur PBOC, Pan Gongsheng, menekankan bahwa perhatian utama akan diberikan pada stabilitas harga dan upaya menghindari risiko deflasi. Pernyataan ini datang setelah data ekonomi bulan Juli menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami kelesuan.
Nilai tukar rupiah mengalami apresiasi signifikan, memberikan dampak positif yang luas pada pasar saham dan obligasi di Indonesia. Rupiah terapresiasi sebesar 1,48%, yang mendorong Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 2,41%, sementara Indeks LQ45 menguat 1,89%.
Selain itu, imbal hasil obligasi juga turun sebesar 5,4 basis poin. Penguatan rupiah ini didorong oleh data inflasi di Amerika Serikat yang menunjukkan perlambatan baik dari sisi produsen maupun konsumen, di tengah isu potensi hard landing ekonomi AS. Perlambatan ini meningkatkan spekulasi bahwa Federal Reserve mungkin akan melakukan lebih banyak pemangkasan suku bunga sepanjang tahun 2024, yang menekan permintaan terhadap dolar AS dan memberikan dorongan lebih lanjut bagi nilai tukar rupiah.
Dari dalam negeri, sejumlah sentimen positif juga turut mendorong penguatan pasar. Laporan Realisasi APBN 2024 hingga akhir Juli mencatat defisit sebesar Rp93,4 triliun atau 0,41% dari PDB, namun keseimbangan primer masih mencatat surplus sebesar Rp179,3 triliun. Surplus ini menunjukkan bahwa utang lama tidak perlu dibayar dengan utang baru, yang merupakan indikator positif bagi stabilitas fiskal.
Barclays memprediksi bahwa Bank Indonesia (BI) akan memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin mulai September, dengan tambahan 50 basis poin pada tahun 2025, yang akan mengembalikan suku bunga ke level pra-pandemi sebesar 5%.
Selain itu, aktivitas ekspor Indonesia meningkat sebesar 6,46% secara tahunan (YoY) mencapai $22,21 miliar, didorong oleh lonjakan ekspor di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang tumbuh 32% YoY, serta sektor pertambangan yang naik 9% YoY. Optimisme pasar juga meningkat menjelang akhir pekan setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan asumsi makro dalam RAPBN 2025. Dalam asumsi tersebut, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 5,2%, dengan fokus pada permintaan domestik di tengah stagnasi ekonomi global. Inflasi diasumsikan berada pada 2,5%, dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan di level Rp16.100/$, dan suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun diperkirakan rata-rata sebesar 7,1%.
Kombinasi dari sentimen global dan domestik ini menciptakan momentum positif di pasar keuangan Indonesia, dengan harapan keberlanjutan stabilitas ekonomi dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan.