Sektor teknologi kembali menguat di tengah pelemahan mayoritas indeks utama Wall Street. Saham Broadcom menjadi sorotan setelah mengumumkan proyeksi pendapatan kuartal yang melampaui ekspektasi, didukung permintaan kuat untuk chip AI kustomnya dalam beberapa tahun ke depan.
Prospek cerah tersebut mendorong saham Broadcom naik 24%, sehingga kapitalisasi pasarnya menembus $1 triliun untuk pertama kalinya. Lonjakan ini menjadi pendorong utama penguatan indeks NASDAQ.
Sepanjang pekan, investor fokus pada data inflasi konsumen dan produsen di Amerika Serikat (AS) yang berpotensi memengaruhi keputusan pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Menurut FedWatch Tool CME Group, data inflasi konsumen menunjukkan kenaikan 2,7%—sesuai ekspektasi pasar, sehingga peluang pemangkasan suku bunga pekan depan mencapai lebih dari 98%.
Meski demikian, beberapa pejabat The Fed mengingatkan perlunya kehati-hatian karena ekonomi AS masih cukup tangguh. Hal ini memunculkan ekspektasi The Fed mungkin akan menunda pemangkasan suku bunga lebih lanjut pada Januari 2025.
Sentimen kehati-hatian ini menjadi penekan mayoritas indeks utama Wall Street selama sepekan terakhir. Investor kini menantikan hasil pertemuan FOMC dan data pertumbuhan ekonomi (GDP) AS untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan The Fed ke depannya.
Pasar saham Eropa bergerak bervariasi di tengah ketidakpastian politik dan kekhawatiran ekonomi. Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron belum menunjuk perdana menteri baru, sementara National Rally (RN) yang berhaluan kanan ekstrem mengalami kekalahan mengejutkan dalam pemilu. Situasi ini menambah ketidakpastian di kawasan tersebut.
Para investor juga menanti kejelasan arah kebijakan moneter di zona Euro tahun depan, terutama di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi dan potensi perang dagang. Pekan ini pasar saham berfluktuasi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti stimulus ekonomi baru dari Tiongkok, data inflasi dari AS dan zona Euro, serta keputusan Bank Sentral Eropa (ECB) yang memangkas suku bunga untuk keempat kalinya tahun ini pada Kamis lalu.
Empat pembuat kebijakan ECB mendukung pemotongan suku bunga lebih lanjut pada Jumat, asalkan inflasi mencapai target 2%. Pelaku pasar memperkirakan suku bunga bisa turun hingga total 112 basis poin pada akhir tahun depan. Hal ini mencerminkan keyakinan ECB akan terus melonggarkan kebijakan moneter untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Minat terhadap aset berisiko terus menurun, yang mana mencerminkan sikap hati-hati investor yang masih menunggu langkah konkret dari para pemimpin puncak terkait janji-janji pemulihan ekonomi yang berulang kali disampaikan.
Beberapa ekonom menilai Beijing mungkin sengaja menunda rincian kebijakan sebagai respons terhadap potensi meningkatnya ketegangan dengan AS. Namun, reaksi pasar ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi otoritas Tiongkok dalam memulihkan kepercayaan investor, terutama setelah beberapa kegagalan kebijakan sebelumnya.
Sementara itu, pasar saham Jepang mencatat kenaikan hampir 1% sepanjang pekan. Optimisme investor didorong oleh harapan bahwa Federal Reserve AS akan memangkas suku bunga minggu depan, menyusul data inflasi AS yang menunjukkan tanda-tanda pelonggaran.
Inflasi inti AS tercatat stagnan selama empat bulan terakhir, memberikan ruang bagi The Fed melonggarkan kebijakan moneter. Meski demikian, risiko tarif potensial tetap menjadi ancaman yang bisa memengaruhi prospek inflasi di masa mendatang.
Sektor keuangan, kesehatan, transportasi, dan teknologi mencatat penurunan sepanjang pekan. Hal ini menjadi beban utama bagi sentimen pasar saham di Indonesia. Tekanan di sektor-sektor ini sebagian besar dipicu oleh aksi jual yang dilakukan oleh investor, yang masih mengadopsi pendekatan berhati-hati (wait and see) menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia terakhir bulan ini.
Ketidakpastian politik dalam negeri juga turut berperan dalam memperburuk suasana pasar. Berbagai spekulasi terkait arah kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap perekonomian nasional membuat investor cenderung menahan diri dari mengambil posisi besar di pasar saham. Hal ini terlihat dari volume perdagangan yang menurun, yang mencerminkan keraguan investor masuk ke pasar sebelum adanya kepastian.
Sektor keuangan, yang biasanya menjadi barometer utama pasar, mengalami tekanan karena kekhawatiran terhadap prospek suku bunga. Investor khawatir bahwa keputusan Bank Indonesia terkait suku bunga di tengah tekanan inflasi dan perlambatan ekonomi global akan memengaruhi profitabilitas sektor ini.
Hal ini juga terjadi pada sektor kesehatan, yang sebelumnya dianggap sebagai sektor defensif, turut terimbas karena munculnya kekhawatiran terkait biaya operasional yang meningkat akibat fluktuasi nilai tukar rupiah.
Sektor transportasi dan teknologi pun tak luput dari tekanan. Penurunan di sektor transportasi dipengaruhi tingginya harga bahan bakar yang terus menjadi tantangan utama bagi pelaku usaha. Sementara itu, sektor teknologi mengalami aksi jual besar-besaran, terutama pada saham-saham berkapitalisasi besar, seiring dengan tren global yang cenderung melemah akibat ketidakpastian kebijakan moneter di berbagai negara.
Fokus pasar kini tertuju pada RDG Bank Indonesia yang akan memberikan sinyal arah kebijakan moneter. Para pelaku pasar berharap adanya kejelasan terkait langkah-langkah yang akan diambil, terutama untuk mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal dan internal.
Di bawah ini merupakan reksa dana obligasi yang turun lebih dari 1% dalam 3 bulan terakhir per 13 Desember 2024 berdasarkan total return.
Schroder Dana Mantap Plus II
Ashmore Dana Obligasi Nusantara
BNI-AM Pendapatan Tetap Syariah Ardhani
Manulife Obligasi Negara Indonesia II
Mandiri Investa Dana Obligasi II
Syailendra Fixed Income Fund Kelas A