Sentimen positif di AS minggu ini tidak cukup kuat untuk membuat indeks utama Wall Street ditutup di zona hijau. Komentar terbaru dari pejabat Federal Reserve berhasil meredakan kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS.
Para pejabat Reserve menepis anggapan bahwa data ketenagakerjaan Juli yang lebih rendah daripada perkiraan menunjukkan bahwa ekonomi sedang menuju resesi, tapi tetap mengingatkan bahwa Federal Reserve perlu segera memangkas suku bunga untuk menghindari skenario tersebut.
Menurut laporan Departemen Tenaga Kerja AS, klaim pengangguran awal di AS turun menjadi 233.000, berkurang 17.000 dari minggu sebelumnya. Penurunan ini sedikit meredakan kekhawatiran akan resesi yang sempat memuncak setelah data ketenagakerjaan bulan lalu menimbulkan kegelisahan. Namun, kekhawatiran mengenai potensi hard landing ekonomi AS kembali meningkat, dengan JP Morgan menaikkan peluang resesi menjadi 35% (sebelumnya 25%).
Pertanyaan besar yang terus menghantui pasar adalah apakah Federal Reserve telah menunggu terlalu lama untuk menurunkan suku bunga, yang bisa saja meninggalkan Amerika Serikat di ambang resesi.
Investor di Eropa mengevaluasi kekhawatiran terkait potensi resesi di AS sambil mencari sinyal ekonomi makro yang jelas baik di tingkat domestik maupun global untuk memandu keputusan investasi mereka.
Di tengah situasi ini, data ekonomi dari Eropa juga menjadi perhatian. Inflasi di Jerman mengalami peningkatan pada bulan Juli (naik menjadi 2,6%) yang mengonfirmasi laporan awal mengenai kenaikan harga konsumen. Sementara itu, di Italia harga konsumen yang diselaraskan dengan standar Uni Eropa menunjukkan penurunan sebesar 0,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Data-data ini mencerminkan dinamika ekonomi yang berbeda di antara negara-negara utama Eropa, yang memengaruhi persepsi investor dan membuat pasar saham di Eropa cenderung bervariasi selama sepekan.
Saham di Tokyo jatuh lebih dari 12% pada hari Senin, tertekan oleh penguatan yen Jepang (JPY) yang tiba-tiba. JPY melonjak ke level 141,73 terhadap dolar AS, tingkat yang terakhir terlihat pada awal Januari.
JPY yang lebih kuat menjadi faktor negatif bagi eksportir Jepang karena mengurangi daya saing produk mereka di pasar global. Penguatan yen ini sebagian besar didorong oleh keputusan kebijakan Bank of Japan (BOJ) yang secara tiba-tiba mengubah tren beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur BOJ, Shinichi Uchida, menegaskan bahwa bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga jika pasar keuangan sedang tidak stabil. Keputusan mengejutkan BOJ untuk menaikkan suku bunga pada 31 Juli ke tingkat yang belum pernah terlihat dalam 15 tahun memicu penurunan di pasar saham global.
Banyak investor melepas posisi carry trade yen, menegaskan bahwa bank sentral tidak akan menaikkan suku bunga jika pasar keuanicu lonjakan yen yang tajam. Sementara itu, menjelang akhir pekan sentimen di Tiongkok sedikit membaik setelah data menunjukkan ekspor Tiongkok tumbuh pada laju paling lambat dalam 3 bulan terakhir pada bulan Juli, meskipun gagal memenuhi ekspektasi.
Kekhawatiran mengenai prospek sektor manufaktur Tiongkok terus membayangi, dan hal ini menyebabkan pasar saham tetap berada di zona negatif sepanjang pekan tersebut.
Pasar saham Indonesia terkoreksi dengan IHSG turun 0,70% dan Indeks LQ45 melemah lebih tajam 1,22%. Hal ini menjadi penurunan mingguan terbesar dalam 7 minggu. Namun, rupiah terapresiasi 1,70%, mendorong penguatan pasar obligasi di mana imbal hasil obligasi acuan 10 tahun turun 7,4 basis poin.
Sentimen pasar global dan data ekonomi AS yang lebih buruk daripada perkiraan memicu kekhawatiran hard landing, juga kemungkinan pemangkasan suku bunga lebih cepat, sehingga melemahkan USD. Sementara itu, intervensi dan kenaikan suku bunga oleh BOJ meningkatkan permintaan JPY.
Di dalam negeri sentimen positif menguatkan rupiah terhadap dolar Amerika (USD), didukung oleh proyeksi IMF yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stabil pada 5% di tahun 2024 dan 5,1% di tahun 2025. Cadangan devisa Indonesia juga naik menjadi $145,4 miliar pada akhir Juli 2024, dari $140,2 miliar pada akhir Juni. BPS melaporkan PDB Indonesia pada Q2-2024 tumbuh 5,05% yoy—sedikit di atas ekspektasi.