Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dalam pemilihan umum 2024 yang berlangsung awal November membawa sentimen positif bagi pasar. Kebijakan Trump yang pro-bisnis menjadi faktor utama optimisme investor, sehingga mayoritas indeks utama di Wall Street melonjak signifikan, bahkan lebih dari 3%. Selain itu, data ekonomi yang dirilis, seperti indeks sektor manufaktur dan jasa yang menunjukkan pemulihan, turut menjadi katalis positif.
Kebijakan Trump yang berfokus pada pemotongan pajak dan deregulasi disambut baik oleh pasar saham, yang mana dianggap sebagai kebijakan pro-pertumbuhan yang dapat mendorong laba perusahaan naik.
Menjelang akhir pekan, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memberikan kepastian dengan memutuskan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%), sesuai dengan ekspektasi pasar. Pemangkasan ini dilakukan karena pasar tenaga kerja mengalami penyusutan, sementara inflasi mendekati target 2%.
Ketua The Fed, Jerome Powell, menyatakan keputusan kebijakan untuk Desember belum ditetapkan. Namun, bank sentral siap untuk menyesuaikan langkah-langkah mereka terkait arah dan laju kebijakan moneter di tengah ketidakpastian yang ada.
Berbeda dengan Wall Street yang mengalami kenaikan, pasar saham di Eropa justru cenderung tertekan menyusul ketatnya pemilu AS dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Kekhawatiran terhadap kebijakan proteksi perdagangan yang kemungkinan akan diterapkan oleh pemerintahan Trump menjadi salah satu faktor utama yang membebani pasar Eropa.
Trump yang berhasil memenangkan lebih dari 270 suara Electoral College berjanji selama kampanye untuk membatalkan proyek angin lepas pantai melalui perintah eksekutif pada hari pertama masa jabatannya. Hal ini menambah kekhawatiran di Eropa, terutama terkait dengan komitmen terhadap energi terbarukan.
Saham pabrikan otomotif Jerman seperti Mercedes-Benz dan BMW masing-masing anjlok sekitar 6,5% karena kekhawatiran akan tarif impor. Trump berjanji untuk mengenakan tarif 10% pada semua barang impor, dan menyatakan bahwa Uni Eropa harus “membayar harga yang mahal” karena tidak cukup membeli produk ekspor Amerika.
Dalam bacaan data ekonomi zona Eropa yang rilis terbilang cukup baik. Indeks kinerja sektor jasa bergerak pada teritori ekspansi dan tingkat penjualan ritel yang naik di atas ekspektasi. Hal ini dapat menjadi podasi kuat solidnya ekonomi AS meskipun di tengah ancaman Trump Trade ke depan.
Bursa saham Jepang kembali beroperasi setelah libur panjang dengan memperpanjang jam perdagangan. Langkah ini diambil untuk menarik lebih banyak investor asing di tengah volatilitas pemilu AS dan membawa sentimen positif, sehingga membuat indeks Nikkei 225 di Jepang naik lebih dari 3% dalam sepekan.
Di sisi lain, saham-saham di Tiongkok dan Hong Kong juga menguat sepanjang minggu. Kenaikan ini didorong oleh data ekonomi yang positif serta optimisme investor terhadap potensi stimulus yang lebih besar, meskipun ada kekhawatiran tentang kemungkinan ketegangan perdagangan di bawah pemerintahan Trump yang baru.
Di Tiongkok sektor manufaktur dan jasa tetap berada dalam wilayah ekspansi selama 12 bulan berturut-turut hingga Oktober. Pertumbuhan ini ditopang oleh peningkatan permintaan baru, termasuk kenaikan pesanan ekspor yang signifikan di sektor jasa.
Ekspor Tiongkok pada Oktober melonjak 12,7% secara tahunan, mencapai $309,1 miliar. Angka ini jauh melampaui perkiraan ekonom sebesar 5,2% dan lebih tinggi dibandingkan kenaikan 2,4% pada September, menandai laju pertumbuhan tercepat sejak Juli 2022.
Selera investor terhadap ekuitas lokal meningkat tajam dengan ekspektasi bahwa anggota parlemen Tiongkok akan menyetujui paket stimulus antara 6-10 triliun yuan. Stimulus ini diharapkan akan membantu pemerintah daerah dalam menata ulang utang tersembunyi melalui peningkatan pagu utang pemerintah daerah.
Sektor keuangan, infrastruktur, dan teknologi menekan pergerakan pasar saham Indonesia selama sepekan terakhir, terpengaruh oleh depresiasi rupiah. Nilai tukar rupiah melemah akibat peningkatan permintaan dolar AS sebelum dan sesudah pemilu di AS, memicu kekhawatiran investor bahwa kondisi ini bisa menghambat langkah Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga pada November 2024.
Data GDP Indonesia juga memberikan sentimen negatif bagi pasar. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2024 hanya mencapai 4,95% secara tahunan (yoy), di bawah target 5% karena minimnya dorongan musiman yang biasanya meningkatkan konsumsi domestik, seperti liburan dan hari besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perlambatan konsumsi rumah tangga hingga -0,48% secara kuartalan (QoQ) sebagai penyebab utama penurunan ini.
Setelah kemenangan Donald Trump, Bank Indonesia mengisyaratkan akan mempertahankan suku bunga acuan demi menjaga stabilitas rupiah. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan BI akan fokus pada kestabilan nilai tukar mengingat penguatan dolar AS dan kenaikan yield Treasury, meskipun tingkat inflasi di Indonesia saat ini tergolong rendah. Selain itu, BI tengah mengkaji bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk menarik arus modal asing.
Selain itu, saham-saham perbankan di Indonesia juga mengalami tekanan akibat spekulasi negatif terhadap dampak dari kebijakan penghapusan utang macet UMKM senilai hingga Rp10 triliun. Menteri UMKM, Maman Abdulrahman, mengumumkan kebijakan penghapusan utang tersebut yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 dan baru ditandatangani oleh Presiden Prabowo. Kebijakan ini ditujukan bagi UMKM di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan sektor lain yang benar-benar tidak mampu melunasi kredit macet mereka yang sudah berumur lebih dari 10 tahun.
Di bawah ini merupakan reksa dana saham yang total return-nya telah turun lebih dari 5% dalam 1 bulan terakhir per 8 November 2024, yang juga dianggap murah.
BNI-AM Pefindo i-Grade
BNI-AM IDX Pefindo Prime Bank
Ashmore Dana Ekuitas Nusantara
Syailendra MSCI Indonesia Value Index Fund Kelas A
BNI-AM Indeks IDX 30
BNI-AM IDX High Dividend 20
BNI-AM Sri-Kehati
Ashmore Digital Equity Sustainable Fund