Data ekonomi awal bulan memberikan sentimen yang beragam di Amerika. Indikator kinerja sektor manufaktur—ISM Manufaktur—turun melebihi ekspektasi dengan indeks mencapai 48,7 dari sebelumnya 49,2.
Selain itu, pembukaan lowongan pekerjaan baru juga menurun dengan JOLTS Job Openings berada di level 8059k dari 8488k. Penurunan ini membawa sentimen positif terhadap prospek inflasi, yang pada gilirannya membuat pasar saham dan obligasi Amerika menguat signifikan pada awal pekan.
Namun, para investor mengkhawatirkan data tingkat pengangguran dan gaji pekerja selain petani yang dirilis pada akhir pekan, yang berpotensi menekan optimisme pasar.
Data Change in Nonfarm Payrolls menunjukkan kenaikan dari 181k menjadi 272k, yang merupakan kabar negatif. Di sisi lain, tingkat pengangguran naik dari 3,9% menjadi 4,0%, yang dianggap sebagai kabar positif dan berhasil membawa optimisme kembali ke pasar pada akhir pekan.
Bank Sentral Eropa atau Europan Central Bank (ECB) memenuhi janjinya untuk memotong suku bunga, akan tetapi langkah ini masih meninggalkan pertanyaan di benak para investor mengenai arah kebijakan selanjutnya. Para pejabat ECB hampir sepenuhnya menolak kemungkinan pemotongan suku bunga pada bulan Juli, dan terdengar ragu-ragu untuk bulan September 2024.
Pada Kamis, 6 Juni 2024, ECB menurunkan suku bunga deposito sebesar 0,25 poin, menjadikannya 3,75% setelah 9 bulan bertahan di 4%. Meski inflasi diproyeksikan akan meningkat “secara nyata”, ECB berkomitmen untuk mempertahankan kebijakan ketat sesuai kebutuhan. Christine Lagarde, Presiden ECB, menyatakan bahwa dia tidak bisa mengonfirmasi bahwa fase “pengurangan” sedang berlangsung.
Selain itu, ECB juga meningkatkan perkiraan inflasi untuk tahun ini dan tahun depan. Dengan kata lain, meskipun ada pemotongan suku bunga yang dilakukan, ECB tidak memberikan kejelasan tentang langkah kebijakan selanjutnya.
Hal di atas menciptakan ketidakpastian di kalangan investor mengenai apakah akan ada pemotongan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat. Akibatnya, pasar saham di Eropa cenderung bergerak terkonsolidasi, seakan tidak merespons adanya pelonggaran kebijakan moneter ini.
Aktivitas sektor manufaktur di Tiongkok memberikan indikasi pemulihan dan menjadi katalis positif pada awal pekan, sebelum kembali terkonsolidasi bahkan melemah menjelang akhir pekan karena aktivitas perdagangan yang tidak sesuai harapan.
Caixin China PMI Manufaktur naik menjadi 51,7 dari 51,4, yang mana menunjukkan adanya aktivitas ekspansi pada bulan Mei 2024. Namun, menjelang akhir pekan, data aktivitas impor Tiongkok dirilis di bawah ekspektasi sebesar 1,8% (turun signifikan dari 8,4%), dan jauh di bawah ekspektasi pasar di level 4,3%. Hal ini menjadi alasan bagi investor untuk berhati-hati, terlepas dari sentimen global yang juga terpengaruh oleh aksi tunggu data tingkat pengangguran AS.
Pasar saham secara keseluruhan terlihat melemah, dengan IHSG turun 1,04%. Namun, berbagai saham unggulan justru menguat, ditandai dengan LQ45 naik 1,44% dan IDX 30 naik 2,03%. Hal ini terjadi karena saham BREN, yang sebelumnya menduduki peringkat teratas kapitalisasi pasar pada IHSG, masuk papan pemantauan khusus dan dikenakan mekanisme perdagangan Full Call Auctions. Ini menyebabkan likuiditas perdagangan saham tersebut menjadi terbatas di tengah aksi jual yang lebih besar.
Pasar obligasi melanjutkan tren penguatan mingguan dengan imbal hasil acuan tenor 10 tahun Indonesia turun 2,4 basis poin. Hal ini menandai penurunan mingguan kelima berturut-turut. Nilai tukar rupiah juga menguat, naik 0,34% terhadap USD selama sepekan yang menjadi pendorong optimisme utama.
Data ekonomi yang dirilis memberikan katalis positif, baik dari global maupun domestik. Dari domestik, beberapa faktor utama yang mendorong optimisme antara lain:
tingkat inflasi yang melambat,
indeks kinerja manufaktur Indonesia tetap berada di zona ekspansif, dan
cadangan devisa yang tetap tinggi.
S&P Global merilis indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia untuk bulan Mei, yang turun menjadi 52,1 dari 52,9 pada bulan April. Namun, masih lebih tinggi dibandingkan dengan 50,3 pada tahun lalu.
Indeks Harga Konsumen atau tingkat inflasi sisi konsumen Indonesia tumbuh lebih rendah daripada yang diharapkan oleh para ekonom pada bulan Mei, dengan peningkatan sebesar 2,84% secara tahunan, lebih lambat dibandingkan dengan perkiraan sebesar 2,97%.
Cadangan devisa Indonesia pada akhir Mei 2024 mencapai US$139 miliar, naik US$2,8 miliar dari April yang sebesar US$136,2 miliar. Kenaikan ini dipicu penerimaan pajak, jasa, dan penerbitan global bond pemerintah. BI menyatakan cadangan ini mendukung ketahanan eksternal dan stabilitas makroekonomi.