Pilih Berhemat atau Tambah Pemasukan?

writter Wealth Management

“Sebenarnya lebih baik mengurangi pengeluaran atau menaikkan pemasukan sih?”

Pertanyaan itu kerap kali menemani financial journey Rama, seorang karyawan swasta. Gak jarang ia juga mendapat komentar dari orang yang seolah mencibir perjalanan finansialnya: “Ngapain sih hidup hemat? Mending mikirin bagaimana untuk menaikkan income!”

Sebelumnya, Rama biasa ngopi bareng kolega dan teman 2-3 kali sehari, disambung dengan hang out tiap weekend. Namun, kini ia mengubah kebiasaannya menjadi lebih hemat, mulai dari mengurangi frekuensinya pergi ke kafe, kerap membawa tumbler, dan menjadi minimalis dalam membeli makan-minum restoran, sehingga Rama sampai dicap pelit di dalam circle-nya.

Tau gak sih sebenarnya Rama sedang menerapkan penghematan dari latte factor? Buat yang belum tau, latte factor adalah adalah pengeluaran kecil yang sering dilakukan secara rutin sehingga bisa mengancam keuangan pribadi.

David Bach, dalam bukunya The Latte Factor menjelaskan “latte” di sini bukan hanya perkara kopi, melainkan mencakup semua jenis pengeluaran yang sering gak terasa. Ia menegaskan bagaimana mengubah unconscious spending menjadi intentional purchase bisa menghindari kebocoran budget dan berdampak besar ke finansial di masa depan.

Bisa dibilang penghematan dari latte factor amatlah nyata dan menjadi langkah awal dalam perjalanan Rama menggapai financial goals-nya. Mengurangi ngopi-ngopi cantik dari 3 kali jadi 1 kali setiap hari tuh gak bakal bikin Rama—ataupun kamu—terkesan gak gaul. Kamu tetap bisa nongkrong—dengan biaya sepertiga daripada biasanya.

Nah, buat yang sudah mulai memiliki mindset seperti di atas, biasanya kamu sudah mulai lebih serius merancang strategi keuangan nih… and it’s a good start!

Yuk, coba kita bahas kedua pola ini: berhemat dan menaikkan income dari cerita Rama.

Pasak, Tiang, dan Latte Factor

Sejak kecil, ada ajaran dari orang tua yang selalu diingat Rama: “Jangan lebih besar pasak daripada tiang.” Kayaknya terasa kuno, tapi sekarang nasihat itu justru semakin terasa relevan.

Pengaruh media sosial, iklan, kemudahan bertransaksi, dan macam-macam kemudahan lainnya bikin godaan impulsive buying semakin meningkat. Ujung-ujungnya pengeluaran (pasak) jauh lebih besar ketimbang pemasukan (tiang).

Sebelum melakukan penghematan latte factor, dulu sebenarnya Rama sering terjebak dalam unconscious spending: jajan siomai atau bakso, ngafe, sampai langganan streaming film meski jarang ditonton. Pengeluaran receh yang saking kecil dan sering, bikin Rama gak sadar (unconscious) berapa total pengeluarannya.

Forbes pernah membahas beberapa keunggulan dalam mengontrol latte factor, antara lain:

  1. kontrol penuh terhadap keuangan pribadi,

  2. pengeluaran kecil-kecil kalau dikumpulkan dan diinvestasikan bisa menggunung di masa depan, dan

  3. membentuk kebiasaan positif—yang mana hal ini bisa jadi aspek terpenting untuk prospek finansial yang cerah.

Meski biasa berhemat di pengeluaran tersier, memangkas biaya kos, transportasi, dan pakai 1001 macam life hacks, Rama tetap mencari-cari side job untuk menambah pundi-pundi investasi. Rama yang sudah bekerja sekitar 3 tahun pun memiliki performa yang cemerlang sehingga dipromosikan dan mendapat kenaikan gaji yang lumayan.

Cara apa pun yang ditempuh, Rama berpendapat bahwa menaikkan pendapatan itu wajib banget dilakukan. Namun, gak ada gunanya pendapatan naik kalau pengeluaran tetap lebih besar.

Upgrade skill, networking, dan terus belajar hal-hal baru. Ini semua jadi resep biar pendapatan melejit. Nah, ketiga hal itu butuh waktu, jadi gak bisa dalam waktu sekejap.

Bagi Rama, berhemat itu jadi langkah pertama karena hal itu yang bisa segera dilakukan. Setelah itu, barulah cari cara untuk menaikkan pendapatan.

Perbesar Selisih Pasak dan Tiang

Daripada memilih antara menurunkan pengeluaran atau menaikkan pendapatan, Rama lebih suka kombinasi keduanya. Berhemat dan menabung sebagai immediate goals, sementara menaikkan pendapatan jadi medium-term goal.

Kebiasaan berhemat otomatis bikin Rama gak gelap mata waktu gajinya naik. Sebagai ilustrasi, intip financial journey Rama secara singkat di bawah ini:

Rama lebih fokus memperbesar selisih pasak dan tiang, kombinasi mengurangi pengeluaran dan menaikkan pendapatan. Selisihnya, ia masukkan ke reksa dana, tool investasi yang paling sederhana. Cocok buat investor pemula seperti Rama yang modalnya pas-pasan.

Mencontoh Rama, kamu juga bisa dengan mudah bikin akun reksa dana di Jenius. Tinggal aktivasi, jawab beberapa pertanyaan untuk tau profil risiko, langsung deh bisa beli. Mau reksa dana pasar uang, obligasi, ataupun saham… ada semua!

Saat berinvestasi, jangan lupa untuk sesuaikan dengan profil risiko ya. Untuk Rama, ia memulai dengan reksa dana pasar uang, soalnya paling stabil dan ibarat “nebeng” deposito nasabah premium. Modal Rp10.000, tapi dapat interest mirip sultan yang punya deposito miliaran.

Setelah semakin paham, Rama pun bikin reksa dana obligasi dan saham. Sekarang ia membagi-bagi jenisnya sesuai time-horizon: goals jangka pendek pakai reksa dana pasar uang, jangka menengah pakai reksa dana obligasi, dan jangka panjang pakai reksa dana saham.

Kisah finansial Rama menarik banget, kan? Apa kamu juga merasakan hal yang sama terhadap keuanganmu?

Kalau iya, Rama berpesan, tahun baru ini kamu harus segera fokus untuk perbesar selisih pasak dan tiang, and invest the rest.

Artikel lainnya