Enam tahun setelah lulus S-1, aku memutuskan untuk lanjut kuliah S-2 ke luar negeri. Sebenarnya aku sudah terpikir untuk lanjut studi sejak lulus S1, tapi karena aku adalah sandwich generation yang harus membantu finansial keluarga, aku memutuskan untuk berkarier terlebih dahulu sambil menabung.
Aku mencoba cukup banyak jenis pekerjaan, mulai dari menjadi guru bahasa Jerman, pengisi suara, sampai akhirnya aku berlabuh ke dunia penulisan kreatif dan marketing yang ternyata paling cocok denganku.
Pada tahun 2021, saat pandemi, aku menginisiasi gerakan #PonselUntukSekolah. Di sana aku mendistribusikan HP beserta paket data ke adik-adik usia sekolah dasar yang kesulitan menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) saat pandemi karena keterbatasan biaya.
Dari pertemuan dengan anak-anak dan orang tua penerima manfaat, aku menemukan satu hal yang sangat memantik semangatku: saat akses ke pendidikan formal terganggu atau terputus, mereka bingung harus belajar dari mana lagi.
Mengingat latar belakangku di penulisan kreatif, aku langsung terpantik memperdalam pengetahuanku di bidang pendidikan informal. Aku ingin sekali bisa berkontribusi dengan membuat buku dan film—atau film anak edukatif.
Tanpa pikir panjang, aku langsung memulai persiapan untuk daftar S-2. Setelah riset, pilihanku jatuh pada jurusan Learning Design, Innovation, and Technology di Harvard University, Amerika Serikat.
Aku pun langsung memulai persiapan untuk pendaftaran universitas dan beasiswa LPDP tanpa menggunakan jasa bimbingan kuliah ke luar negeri. Ya, semuanya aku lakukan sendiri.
Secara garis besar, ada empat hal yang harus kusiapkan:
dokumen persyaratan administrasi,
Statement of Purpose,
sertifikat tes bahasa Inggris, dan
keperluan imigrasi.
Persiapan dokumen persyaratan sebenarnya cukup mudah karena hanya mengumpulkan dokumen-dokumen yang ada seperti ijazah, transkrip nilai, sertifikat lomba atau pencapaian, dan sebagainya. Namun, bagian ini perlu ketelitian karena kekurangan atau kesalahan sedikit saja di kelengkapan dokumen bisa membuatku gagal di tahap administrasi.
Bagian yang menurutku paling sulit adalah mempersiapkan Statement of Purpose (SoP). SoP adalah esai yang menjelaskan tentang latar belakang, pengalaman, alasan memilih program studi dan kampus yang dituju, hingga mimpi besar yang ingin kita capai dari hasil belajar nanti.
Walau tujuanku sudah matang dan sudah tau apa yang mau kutulis, tetap ada rasa takut saat menulis SoP karena bobot penilaiannya sangat besar. Karena SoP ini menentukan peluangku masuk Harvard dan menerima beasiswa. Sehingga, aku meluangkan banyak waktu untuk mengecek ulang, merevisi, dan memperbaiki SoP-ku hingga cukup puas dengan hasilnya.
Kemudian, untuk tes bahasa Inggris dan keperluan imigrasi, fokus utamaku adalah untuk mempersiapkan biaya. Harga satu kali tes IELTS/TOEFL itu gak murah (sekitar Rp3,4 juta), jadi aku juga harus memastikan persiapanku sudah cukup matang.
Karena biaya les persiapan IELTS offline rata-rata cukup mahal dan cukup sulit bagiku untuk mencari waktu yang pas, aku memutuskan untuk ikut kelas online yang bersifat asinkron, supaya aku bisa belajar setelah jam kerja atau saat lowong.
Dari konten-konten tentang persiapan kuliah ke Amerika Serikat yang kutonton, aku juga harus mempersiapkan uang untuk kebutuhan imigrasi seperti paspor, visa, dan persyaratan lainnya yang mungkin berbeda di setiap kampus dan negara bagian.
Persiapanku untuk S-2 bisa dibilang cukup instan (tapi gak disarankan ya karena sangat melelahkan). Aku mulai tergerak untuk lanjut S-2 pada awal 2022, menentukan universitas tujuan pada bulan Agustus, mulai mempersiapkan dokumen dan Statement of Purpose pada September, belajar untuk persiapan IELTS pada Oktober, tes IELTS dan kirim pendaftaran pada akhir Desember. Selama proses persiapan ini pula aku fokus menabung untuk biaya-biaya yang harus kukeluarkan.
Karena proses yang tiba-tiba, aku sama sekali belum punya tabungan khusus untuk lanjut studi. Sebagai gantinya, aku coba untuk memaksimalkan pemasukanku. Di luar pekerjaan full-time, aku juga mengambil lima pekerjaan freelance.
Aku benar-benar memaksimalkan waktu luang yang kupunya sepulang kantor dan saat weekend untuk bekerja tambahan. Sangat melelahkan, memang, tapi itulah risiko dari persiapan finansialku yang kurang matang.
Berikut adalah beberapa biaya yang aku keluarkan saat proses persiapan:
Tes IELTS: Rp3.400.000
*Biaya pendaftaran kampus: Rp4.150.000
Sertifikasi WES (pengesahan ijazah untuk kuliah ke Amerika Serikat): Rp3.800.000
Biaya pengiriman hasil sertifikasi: Rp2.100.000
Pembuatan paspor: Rp650.000
*Pembuatan visa: Rp8.000.000
*Biaya operasional visa (SEVIS): Rp3.500.000
*Tiket pesawat berangkat: Rp26.000.000
Imunisasi: Rp5.700.000
Total: Rp57.300.000
Biaya-biaya yang aku beri tanda bintang (*) adalah biaya yang kemudian dirembes sebagai bagian dari beasiswa, jadi total yang aku keluarkan sebenarnya adalah Rp15.650.000.
Bukan biaya yang sedikit, apalagi karena beberapa pengeluaran perlu mengandalkan sistem rembes sesuai birokrasi, maka persiapan finansial memang benar-benar penting dalam proses persiapan S-2. Meskipun dengan beasiswa penuh, bisa jadi ada hal-hal yang harus dibayar (seperti imunisasi) dan gak termasuk dalam cakupan beasiswa.
Meski sudah melakukan persiapan yang panjang, perjuangan studi ini belumlah selesai. Sesampainya di Amerika Serikat, di tengah kebahagiaan yang aku rasakan karena akhirnya berhasil menginjakkan kaki di benua yang sangat jauh itu, aku juga harus belajar untuk beradaptasi. Di kelas, di lingkungan pertemanan, sampai ke gaya hidup dan cuaca.
Untungnya, lingkungan kampus dan pertemanan di Harvard sangat baik, bahkan jauh melampaui ekspektasiku. Para dosen dan mahasiswa sangat menghargai satu sama lain, saling membantu untuk bisa berkembang di jalannya masing-masing. Jadi untuk proses belajar dan bergaul, aku gak merasa sulit beradaptasi.
Selain itu, sebagai mahasiswa yang hidup dari uang bulanan beasiswa, aku harus belajar budgeting dengan baik. Biaya hidup di Amerika Serikat serbamahal, jadi aku gak bisa mengandalkan tabunganku yang justru jadi gak seberapa kalau dikonversi ke USD.
Dengan begitu, aku mulai dengan membuat perkiraan pengeluaran dari setiap kebutuhan dan membagi prioritas menjadi:
kebutuhan sehari-hari (makan, kebutuhan tempat tinggal, perawatan diri, kesehatan, dll);
kebutuhan perkuliahan (buku, cetak materi jika perlu, dll);
kebutuhan adaptasi (baju atau produk khusus sesuai musim); dan
self-reward (jalan ke daerah sekitar, makan enak, nonton konser musisi favorit, dan lain-lain).
Porsi paling besar sudah pasti untuk kebutuhan sehari-hari, terutama makan. Harga makanan di restoran Amerika Serikat sangat mahal, jadi aku menganggap makan di luar sebagai self-reward.
Untuk sehari-hari, aku memilih memasak sendiri dan menerapkan meal planning biar lebih hemat. Dengan begini, aku bisa mengatur pengeluaran belanja mingguan sekaligus memastikan stok makanan selama seminggu ke depan sudah aman.
Selain itu, aku juga sering memanfaatkan momen acara kampus yang biasanya menyediakan konsumsi gratis. Sisa makanan biasanya boleh dibawa pulang setelah acara, jadi bisa membantuku menghemat.
Buat kopi, aku juga memilih untuk membeli mesin kopi instan (50 USD sudah termasuk 60 kapsul kopi). Karena kopi yang dibeli di coffee shop rata-rata sekitar 4 USD per gelas. Namun, dengan mesin kopi ini, aku bisa minum kopi dengan biaya kurang dari 1 USD per gelas. Sangat menghemat pengeluaran untuk orang yang setiap hari minum kopi seperti aku.
Memang proses lanjut studiku gak 100% mulus, tapi aku jadi bisa banyak belajar dari prosesnya. Aku jadi paham betapa pentingnya persiapan keuangan untuk rencana yang mungkin masih kita pikir, “Ah, belum tau kapan” karena bisa jadi semangat itu datang tiba-tiba. Supaya kita bisa fokus ke proses belajar, pastikan kita sudah punya rencana keuangan dan tools keuangan yang siap sedia saat dibutuhkan.
Seperti aku yang terkadang perlu mengkonversi uang dari Rupiah ke USD atau sebaliknya. Misalnya, ketika uang rembes masuk ke rekening dalam mata uang rupiah saat aku di Amerika Serikat. Kadang ada juga kebutuhan yang perlu dibayar dalam mata uang rupiah, seperti saat aku perlu mengirim barang dari Indonesia ke Amerika Serikat.
Untuk ini, aku menggunakan fitur Mata Uang Asing di Jenius, jadi aku gak perlu ke money changer lagi untuk tukar mata uang. Hal ini sangat mempermudah proses dan menghemat waktuku.
Selain itu, kemampuan untuk beradaptasi dan improvisasi dengan cepat juga penting! Banyak hal gak terduga yang mungkin terjadi saat proses persiapan dan menjalani studi, seperti pengeluaran tambahan, culture shock, cuaca ekstrem, dan sebagainya.
Kuncinya: harus tetap percaya dengan kemampuan diri sendiri, berusaha semaksimal mungkin, banyak belajar dari pengalaman orang lain, dan jangan takut atau malu untuk meminta pertolongan saat kamu butuh.
Memang ada banyak hal yang menakutkan dan membingungkan, namanya juga hal baru. Tapi itu normal, kok! Semua pasti merasakannya.
Semangat untuk para pejuang kuliah ke luar negeri!
Artikel ini ditulis oleh Waitatiri, Teman Jenius yang pernah berkuliah di Harvard University dan sekarang berprofesi sebagai penulis dan CMO Smartick Indonesia. Cek artikel dari para guest writer lain pada laman Blog Jenius.