Di luar dugaan banyak pihak, Bank Indonesia baru saja mengumumkan keputusan penting yang mengejutkan pasar. Dalam Rapat Dewan Gubernur yang berakhir pada 17 September 2025, Bank Indonesia secara tak terduga memangkas suku bunga acuannya (BI-Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%.
Langkah ini terbilang berani. Dari 38 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, hanya dua yang berhasil menebaknya dengan benar. Keputusan ini bukan sekadar angka di atas kertas; ini adalah sinyal kuat dari bank sentral bahwa mereka serius untuk menggeber mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirasa perlu dorongan ekstra.
Bank Indonesia tidak mengambil keputusan ini tanpa alasan. Ada dua pendorong utama di baliknya yakni kondisi global yang kurang bersahabat dan kebutuhan untuk membangkitkan gairah ekonomi di dalam negeri.
Perekonomian dunia sedang lesu. Kebijakan saling balas tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok membuat banyak negara pusing. Akibatnya, kinerja ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang ikut melambat.
Ketika raksasa-raksasa ekonomi ini “masuk angin”, Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global tentu bisa ikut merasakannya. Dengan prospek global yang suram, Bank Indonesia memilih untuk bertindak proaktif, memberikan “vitamin” bagi ekonomi domestik agar lebih tahan banting.
Di dalam negeri, beberapa indikator menunjukkan ekonomi kita belum berlari sekencang yang diharapkan. Konsumsi rumah tangga, yang menjadi tulang punggung ekonomi, terasa masih belum kuat. Investasi juga perlu didorong lebih kencang lagi.
Bank Indonesia melihat ada ruang untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Tujuannya jelas yakni membuat biaya pinjaman lebih murah agar pengusaha lebih berani berekspansi dan masyarakat lebih terdorong untuk berkonsumsi.
Penurunan suku bunga acuan hanyalah salah satu dari serangkaian amunisi yang disiapkan Bank Indonesia. Bank sentral menerapkan bauran kebijakan yang komprehensif untuk memastikan tujuannya tercapai.
Meskipun suku bunga turun (yang secara teori bisa menekan mata uang), Bank Indonesia berkomitmen penuh untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil dan sesuai fundamentalnya. Mereka siap melakukan intervensi di pasar valuta asing kapan pun diperlukan.
Bank Indonesia secara aktif menambah jumlah uang yang beredar di sistem perbankan. Caranya dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar dan mengurangi instrumen moneter SRBI. Ibaratnya, Bank Indonesia memastikan bank-bank punya cukup bensin untuk menyalurkan kredit ke masyarakat dan dunia usaha.
Melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), Bank Indonesia memberikan “hadiah” kepada bank yang rajin menyalurkan kredit ke sektor-sektor penting seperti pertanian, perumahan, pariwisata, hingga UMKM.
Perluasan penggunaan QRIS antarnegara dan inovasi pembayaran digital lainnya terus digalakkan untuk membuat transaksi ekonomi semakin efisien.
Di sinilah letak tantangan terbesarnya. Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuannya secara signifikan sejak tahun lalu, total sebesar 125 basis poin. Namun, penurunan ini belum sepenuhnya menular ke suku bunga kredit di bank-bank.
Bayangkan, Bank Indonesia sudah membuka lebar keran utama, tapi airnya belum mengalir deras ke pipa-pipa kecil di perbankan. Suku bunga deposito memang turun, tapi sangat tipis. Yang lebih mengkhawatirkan, suku bunga kredit perbankan nyaris tidak bergerak.
Bank Indonesia secara tegas menyatakan bahwa suku bunga kredit perbankan perlu segera turun. Tujuannya agar dunia usaha dan masyarakat dapat benar-benar merasakan manfaat dari kebijakan moneter yang longgar ini, sehingga kredit bisa tumbuh lebih kencang dan roda ekonomi berputar lebih cepat.
Intinya, langkah mengejutkan dari Bank Indonesia ini adalah pertaruhan yang diperhitungkan. Sebuah upaya untuk menavigasi ketidakpastian global sambil menyalakan kembali api semangat di dalam negeri. Kini semua mata tertuju pada bagaimana perbankan dan sektor riil merespons panggilan untuk berlari bersama menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Buat kamu yang berinvestasi di pasar modal, khususnya obligasi, kebijakan Bank Indonesia ini ibarat angin segar. Logikanya sederhana: ketika saat suku bunga acuan turun, kupon atau imbal hasil obligasi baru yang akan terbit cenderung ikut turun.
Hal ini secara otomatis membuat obligasi-obligasi lama yang sudah kamu pegang (dengan kupon yang lebih tinggi) menjadi barang langka yang lebih berharga. Akibatnya, harga obligasi, baik itu Surat Berharga Negara (SBN) maupun obligasi korporasi, berpotensi naik di pasar sekunder. Ini membuka peluang bagi investor untuk mendapatkan capital gain atau keuntungan dari kenaikan harga, di luar kupon rutin yang diterima.
Efek domino ini juga sangat terasa di dunia reksa dana, tapi dampaknya berbeda tergantung jenisnya. Reksa Dana Pendapatan Tetap, yang mayoritas portofolionya berisi obligasi, menjadi primadona dalam kondisi ini. Kenaikan harga obligasi akan langsung mengerek naik Nilai Aktiva Bersih (NAB) per unitnya.
Sementara itu, untuk Reksa Dana Saham, kebijakan ini bisa memberikan sentimen positif secara tidak langsung, karena biaya pinjaman yang lebih murah dapat mendorong kinerja emiten dan memicu investor untuk mencari imbal hasil lebih tinggi di pasar saham.