Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi tahunan (year-on-year) tercatat sebesar 1,6%: turun dari 1,95% pada April. Angka ini juga berada di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan inflasi akan mencapai sekitar 1,9%. Penurunan ini tidak hanya mencerminkan kondisi domestik yang terkendali, tetapi juga membuka ruang manuver bagi Bank Indonesia dalam kebijakan suku bunga selanjutnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa faktor utama yang menyebabkan inflasi melandai adalah sebagai berikut.
Secara bulanan (month-to-month), Indonesia justru mengalami deflasi sebesar -0,37% yang mana lebih dalam dari estimasi pasar (-0,14%). Hal ini terjadi karena harga sejumlah bahan makanan pokok mengalami penurunan, seperti: cabai merah dan cabai rawit, bawang merah dan bawang putih, ikan segar, daging ayam, serta tomat dan telur.
Meski demikian, beberapa barang tetap menjadi penyumbang inflasi secara tahunan, antara lain: perhiasan emas, tarif air minum, kopi bubuk, minyak goreng, serta rokok dan beras.
Deflasi bulanan sering kali dianggap normal jika terjadi akibat penyesuaian musiman, seperti pasca-Lebaran. Namun, jika nilainya cukup dalam dan tidak diiringi oleh peningkatan konsumsi, bisa jadi ini mengindikasikan melemahnya permintaan domestik.
Harga-harga turun bukan hanya karena pasokan yang melimpah, tetapi juga karena masyarakat cenderung lebih hati-hati dalam berbelanja. Hal ini bisa disebabkan oleh stagnasi pendapatan, kekhawatiran terhadap prospek ekonomi, atau menurunnya keyakinan konsumen.
Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, pertumbuhan ekonomi nasional bisa terdampak, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan pendorong utama perekonomian Indonesia.
Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) berada di 5,50%, setelah diturunkan sebesar 25 basis poin pada April 2025. Namun perlu dicatat, penurunan ini bukan yang pertama. Bank Indonesia juga sudah melakukan pelonggaran awal pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Januari 2025, menjadikan langkah ini bagian dari proses normalisasi kebijakan pasca periode pengetatan sebelumnya.
Dengan inflasi yang landai, deflasi bulanan, dan inflasi inti yang stabil, Bank Indonesia memiliki ruang untuk mempertahankan sikap akomodatifnya. Namun, Bank Indonesia tetap akan berhati-hati. Stabilitas nilai tukar rupiah, arus modal, dan dinamika global terutama kebijakan suku bunga The Fed masih menjadi pertimbangan utama.
Dalam waktu dekat, kemungkinan besar Bank Indonesia akan menahan BI Rate di 5,50% sambil mengamati apakah tren pelemahan harga ini bersifat sementara atau mencerminkan perlambatan permintaan yang lebih serius.
Jika tekanan inflasi tetap rendah dan indikator konsumsi menunjukkan pelemahan berkelanjutan, peluang pemangkasan lanjutan suku bunga bisa terbuka di semester kedua 2025. Namun, keputusan Bank Indonesia akan sangat bergantung pada data makro berikutnya dan kondisi eksternal.